UNIVERSITAS KEHIDUPAN


Oleh: Ahmad Saefudin

Bagi mahasiswa, ujian adalah aktivitas horor yang mengerikan. Apapun istilahnya, Ujian Tengah Semester (UTS), Ujian Akhir Semester (UAS), Ujian Skripsi, dan sejenisnya, masih menjadi momok dan harus segera diselesaikan dalam tempo yang sesingkat2nya.

Sifat ujian tertulis yang dibuat oleh dosen biasanya terbagi menjadi dua jenis. “Open Book” yaitu bentuk ujian yang membolehkan mahasiswa untuk membuka buku2 referensi sebagai sumber jawaban dan “Close Book”, yang memaksa mahasiswa, apapun kondisinya, sama sekali tidak boleh membuka catatan. Saya sendiri cenderung menyukai tipe yang pertama. Cukup panjang untuk menjelaskan alasannya. Pantengin ya.. He..He..

Jenis ujian pertama mengandalkan daya ingat, penalaran, dan kedalaman analisis. Jawaban dari setiap butir pertanyaan tidak akan langsung ditemukan, meskipun sudah membalik lembar demi lembar halaman buku, jika tidak dibarengi dengan ketajaman nalar. Sehingga, mahasiswa dididik untuk membiasakan berpikir kritis (critical thinking).

Sedangkan ujian “Close Book” akan menguji tingkat kognisi mahasiswa. Bagi mereka yang dianugerahi ingatan jangka panjang (Long Term Memory), ujian jenis ini tidak begitu sulit. Cukup memejamkan mata, memanggil stok pengetahuan yang tersimpan dalam “hard disk” otak, dan dengan sendirinya soal demi soal akan terjawab. Apakah dengan menjawab benar, sesuai dengan teori yang dihapal, kemudian mahasiswa tersebut bisa dikatakan pintar? Tidak.

Saya sudah terlanjur percaya, tidak ada orang pintar. Yang ada ialah orang yang tahu lebih awal dari orang lain. Mahasiswa yang menjawab benar, bukan karena dia pintar, tapi karena ia lebih dulu membaca, mengalami, dan menemukan. Hal ini lumrah dan bukan sesuatu yang ajaib. Semua orang bisa melakukannya. Yang dibutuhkan hanyalah kerja ekstra keras, untuk berusaha mencari tahu, lebih dari orang2 pada umumnya.

Lalu, apa gunanya ujian jika akhirnya tidak mampu menunjukkan, siapa yang pintar dan siapa yang bodoh? Kawan! Siapa yang berani menjamin kesuksesan seseorang di masa depan? Tidak ada, dosen sekalipun. Meskipun kita bisa menjawab semua pertanyaan dalam ujian, mendapatkan predikat “A” alias cumlaude dalam Indeks Prestasi Komulatif (IPK), dilabeli mahasiswa terbaik saat wisuda, terkadang gagap ketika memasuki dunia nyata di luar kampus. Mencari kerja sulit, mau bisnis tak punya modal, studi lanjut belum siap, disuruh nikah belum ketemu jodohnya, kompleks bukan?

Ternyata, ujian sebenarnya ialah saat kita keluar dari kampus lama dan memasuki kampus baru, yaitu universitas kehidupan. Di sana, kita diajarkan bahwa hidup itu tidak selinear yang kita bayangkan. Penuh liku, tanjakan, turunan curam dan seringkali tidak sesuai dengan teori pakem yang selama ini kita pelajari. Mengandalkan daya ingat saja tidak cukup. Kita butuh improvisasi dan lompatan2 “unpredictable” untuk membuat orang lain tercengang. Itulah terminologi sukses yang sesungguhnya. Lulus dari ujian universitas kehidupan.

Siapa yang bisa melakukannya? Adalah mereka yang terbiasa berpikir kritis, melihat persoalan dari berbagai sudut pandang. Good job, guys! Saya menanti “succsess story” kalian. Walaupun kisah itu datang berpuluh2 tahun kemudian.

SHADOW


Oleh: Ahmad Saefudin

Berlindung di balik bayangan. Mungkin, suatu ketika kita menjumpai orang2 semacam itu. Jika iya, cukupkan saja dengan senyum. Sehebat apapun yang ia banggakan, bayangan tetaplah bayangan. Tidak pernah menjadi kenyataan yang sesungguhnya.

Apa guna nama besar orang lain, meskipun dari orang2 terdekat kita. Boleh saja berbesar hati dengan mengatakan, “ini lho ayahku. Semua orang mengakui kapasitasnya. Ini ibuku, keren kan? Itu adikku. Sebentar lagi sarjana. Itu kakakku. Hafalan Al-Qurannya hampir hatam. Kalau yang ini pamanku. Manajer perusahaan multinasional.” Terus? Kamu yang mana? Bisa apa? Helloo..

Sanggupkah kamu berdiri tegak, tanpa topangan mereka, yang disanjung2 setiap waktu? Mampukah kamu berteriak lantang, “ini aku dengan karyaku,” sehingga menghayati benar petuah Pramoedya, “tak ada satu hal pun tanpa bayang-bayang, kecuali terang itu sendiri.”

Kapan kamu bangun dari tidur panjangmu? Sadar bahwa kamu terperangkap dalam igau semu. Hari sudah pagi kawan. Bukan lagi saatnya hanyut dalam remang kepalsuan. Mentari semakin terik, sementara kamu tetap saja berlindung di balik bayangan. Sekali bangun, yang keluar dari mulut hanya rengekan.

Apa kamu tidak pernah berpikir, penyesalan panjang segera tiba? Ketika kamu sedang berusaha sekuat tenaga membuka pintu, keluar dari duniamu, padahal mentari sudah jauh di ujung senja. Kamu linglung. Ke sana kemari dengan langkah gontai. Mencari bayangan. Justru gulita pekat jadi jawaban. Tragis nian, kawan!

OJO DUMEH


Oleh: Ahmad Saefudin

Merasa paling pintar? Lihatlah sekejap di sekelilingmu. Betapa banyak doktor dan profesor yang lebih ahli. Paling alim? Tengoklah sebentar. Tidak kurang Kiai khos yang wara’ dan zuhud. Paling kaya? Berpalinglah sejenak pada mereka yang bergelimang harta, yang gajinya tidak lagi bulanan, melainkan tiap detik per detik.

Paling kuat? Toh pada akhirnya kita juga renta. Paling cantik? Dalam hitungan tahun, keriput susah ditutupi lagi. Paling tampan? Copot tiga gigi depan saja sudah sanggup untuk membalikkan keadaan. Paling suci? Tidak takutkah kita jika dibuka aib yang selama ini tertutup rapi? Paling berkuasa? Apakah kita lupa kisah Fir’aun yang melegenda?

Lalu, apa yang musti kita sombongkan? Tuhan itu adil, kawan! Karunia-Nya Mahaluas. Mustahil salah alamat dalam mengatur rizqi-Nya. Jika kita miskin, belum tentu itu permanen. Siapa yang tahu nasib seseorang esok hari. Sekarang, boleh orang mengatakan kita ini bodoh. Tapi, kuota ilmu-Nya “unlimited.” Hari ini, bisa jadi Tuhan memainkan skenario yang mengharuskan kita hidup dalam keterbatasan. Namun, tidak ada yang mampu menghalangi-Nya, ketika detik ini juga, alur skenario itu berubah. Wong tinggal “kun fa yakun” saja kok.

Tugas kita adalah berusaha memainkan peran sebaik2nya. Bak sandiwara, kehidupan ini sudah ada naskahnya. Adakalanya, alur cerita menggiring kita untuk memainkan karakter protagonis. Di kali lain, antagonisme juga mustahil dielak. So, must go on. Falsafah Jawa bilang, “ojo dumeh. Kudu tansah eling lan waspodo.”

TUHAN! APAKAH ENGKAU TIDAK MENEMUI MEREKA?


Oleh: Ahmad Saefudin

Tuhan! Tidak sedikit dari mereka yang mencari-Mu di masjid dan mushalla. Di balik lipatan-lipatan mushaf. Di pojok-pojok pesantren. Di bangku sekolah dan universitas berlabel “Islam”. Di sepertiga malam terakhir. Di sekeliling Ka’bah. Di majelis-majelis pengajian.

Namun, sehabis dari masjid dan mushalla, mereka tetap saja memusuhi gereja, wihara, klenteng, dan tempat-tempat ibadah lain yang juga digunakan oleh mahluk-Mu. Sesudah membaca kalam-Mu, mereka masih saja mengambil hak-Mu, untuk menilai manusia mana yang benar dan yang salah, iman atau kafir, surga atau neraka, bahkan jika perlu, mereka menyitir ayat-ayat-Mu. Sepulang mengaji dari pesantren, mereka masih risau dengan persoalan khilafiyah, qunut, tahlil, dan bilangan rakaat tarawih, seolah mereka lupa, kalau semua itu hanyalah cara pandang fuqaha’ untuk membumikan syariat agar mudah dijalani. Pasca lulus dari jagat akademik, mereka masih tabu mengambil seperangkat disiplin ilmu pengetahuan yang datang dari luar Islam, senantiasa berpikir dikotomis, “ini” ilmu Islami, sementara “itu” ilmu sekuler. Lantunan zikir dan doa pada saat tahajud, selalu diakhiri dengan rapalan serapah, yang menjelek-jelekkan manusia lain di luar agamanya. Sekembali dari haji dan umrah, kepongahan mereka menjadi-jadi. Tanpa embel-embel “Pak Haji,” mereka enggan menoleh saat disapa. Begitu juga ketika majelis pengajian berakhir, mutiara kata dari para mubalig dan ustaz seakan-akan sirna tanpa bekas, seperti taburan debu di atas batu yang tersapu lebatnya air hujan.

Tuhan! Sejatinya, apakah Engkau tidak menemui mereka? Atau Mereka tidak bertemu Engkau? Ketika mereka mencari-Mu di masjid dan mushalla, di balik lipatan-lipatan mushaf, di pojok-pojok pesantren, di bangku sekolah dan universitas berlabel “Islam”, di sepertiga malam terakhir, di sekeliling Ka’bah dan di majelis-majelis pengajian?

Yogyakarta, Rabu, 1 Juli 2015

LITERASI PEREMPUAN


LITERASI PEREMPUAN
Oleh: Ahmad Saefudin
(Alumni Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara dan sekarang sedang menyelesaikan Program Pascasarjana di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

ABSTRAK

Ahmad Saefudin. Literasi Perempuan. Tulisan ini berupaya menjernihkan status perempuan dari justifikasi negatif yang diproduksi oleh kultur sosial, merekonstruksi realitas perspektif gender dan melakukan dekonstruksi terhadap diskursus mapan tentang perempuan.

Pendekatan analisis wacana kritis digunakan untuk mendudukkan wacana perempuan sebagai sebuah bentuk praktik sosial yang menyiratkan hubungan dialektik antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi sosial yang mewadahinya. Penulis berusaha mencari efek ideologis yang sering kali tidak jelas dan tersembunyi.

Kesimpulan: 1) Kisah Drama Kosmis muncul dari ideologi penafsiran al-qur’an yang bersifat justifikatif-rasialistik. Hal ini akibat dari kegagapan penafsir (pada saat itu) dalam menjelaskan peristiwa menstruasi dari sudut pandang saintifik. 2) Praktik berhijab pada perempuan terdorong oleh wacana ideologis, motif kultural-sosiologis, dan rentan dengan penyusupan agenda-agenda kapitalisme global. 3) Mitos “cantik” bagi perempuan hanyalah citra tubuh yang dipersepsikan oleh lingkungan sekitar.

Saran dari penulis di antaranya: 1) Kaum perempuan hendaknya terus melakukan gerakan literasi, mengkaji secara elaboratif terminologi tafsir tendensius yang dilahirkan dari wacana dominan. 2) Perempuan seyogyanya berhati-hati ketika memutuskan berhijab. Jangan sampai laku mulia ini tercemari kepentingan oportunistik agen kapitalis yang ingin meluaskan lahan bisnis dan komoditinya. 3) Perempuan sebaiknya tidak larut oleh wacana citra “cantik” yang bersifat simbolik (fisik).

Kata kunci: literasi, drama kosmis, hijab, cantik. Baca Selengkapnya…

PENDIDIKAN NILAI; UPAYA MENGATASI KONFLIK IDENTITAS DAN KRISIS NILAI


PENDIDIKAN NILAI; UPAYA MENGATASI KONFLIK IDENTITAS DAN KRISIS NILAI

Oleh: Ahmad Saefudin

Pengertian Nilai

Definisi “nilai” sangat abstrak dan subyektif tergantung dari konteks pemaknaan seseorang. Ketika berucap, “buku ini sangat bernilai, melebihi apapun,” maka asumsi kita sebagai audiens tidak akan sama. Mungkin saja, ada yang berpikir bahwa buku tersebut bernilai secara ekonomis karena mahal. Ada lagi yang beranggapan bahwa buku itu berharga, meskipun secara nominal murah, sebab penerbitnya sudah tidak cetak ulang dan sulit mendapatkannya. Juga bisa jadi, kadar nilai buku tersebut terletak pada goresan tanda tangan asli sang penulis di balik sampulnya. Deskripsi singkat ini menunjukkan betapa tidak mudah menerjemahkan istilah “nilai”. Belum lagi jika menafsirkan “nilai” yang melekat pada “sesuatu” yang tidak kasat mata, seperti kebenaran, kejujuran, tanggung jawab, dan lain-lain. Oleh karena itu, tidak salah apabila Max Scheler seperti yang dikutip Purwo Hadiwardoyo menegaskan bahwa “nilai” merupakan suatu kenyataan yang pada umumnya tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan lain.[1]

Walaupun sulit meramu padanan kata yang pas dalam mendefinisikan “nilai”, bukan berarti tidak ada patokan standar dari para ahli. Gordon Allport, misalnya, sebagai seorang psikolog berpendapat bahwa “nilai” adalah keyakinan seseorang bertindak atas dasar pilihannya.[2] Persoalan keyakinan menjadi cakupan dimensi kejiwaan (psikologis) manusia di mana setiap individu mempunyai pandangan tersendiri dan tidak seragam. Lain lagi dengan Kupperman yang menganggap nilai sebagai patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif.[3] Kepakarannya di bidang Sosiologi membuat Kupperman menitikberatkan interpretasi “nilai” dikaitkan dengan norma sosial. Sesuatu yang bernilai ialah sesuatu yang sesuai dengan tatanan norma yang berlaku di masyarakat.

Sedangkan “nilai” yang benar dan diterima secara universal mengacu kepada ulasan Linda dan Richard Eyre adalah nilai yang menghasilkan perilaku dan perilaku itu berdampak positif baik bagi yang menjalankan maupun orang lain.[4] Kejujurandianggap bernilai ketika terejawantahkan dalam tindakan seseorang, tidak cukup hanya tersimpan dalam pikiran, hati, maupun dalam bentuk verbalisasi an sich.

Supaya tidak terlalu lama berkutat pada ruang definitif dan menghindari bertambahnya perdebatan terminologis dalam tulisan ini, ada baiknya mengupas konsep “nilai” dimulai dari akar katanya, yaitu bahasa Latin vale’re yang berarti berguna, mampu akan, berdaya, dan berlaku.[5]Nilai adalah sesuatu yang dipandang baik, bermanfaat, dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau sekelompok orang.[6] Rohmat Mulyana menambahkan bahwa nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan.[7] Apapun bentuknya, -baik disandarkan pada aspek psikologis, etis, atau moral,- jika “sesuatu” itu mampu dijadikan rujukan dan membuat yakin si pelaku dalam menentukan pilihan tindakan, maka “sesuatu” tersebut sudah bisa dikatakan mempunyai “nilai”. Baca Selengkapnya …

KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL KEPALA SEKOLAH; UPAYA MENJAWAB PROBLEMATIKA MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM DI SEKOLAH ISLAM TERPADU


KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL KEPALA SEKOLAH; UPAYA MENJAWAB PROBLEMATIKA MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM DI SEKOLAH ISLAM TERPADU

Oleh: Ahmad Saefudin

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Fenomena maraknya “Sekolah Islam Terpadu”[1] yang menerapkan keseimbangan antara materi-materi pembelajaran yang bersifat umum (baca: di luar disiplin ilmu-ilmu keislaman) dengan materi keagamaan, patut kita apresiasi. Setidaknya, sinisme masyarakat terhadap lembaga pendidikan formal berlabel “Islam-Swasta” -yang selama ini dianggap sebagai second institusi- mulai terkikis. “Sekolah Islam Swasta” tidak lagi berstatus sebagai pelengkap “Sekolah Negeri”. Bahkan, di beberapa daerah, tingkat kepercayaan publik (public trust) terhadap “Sekolah Islam Terpadu” lebih tinggi jika dibandingkan dengan “Sekolah Negeri”.[2] Sebagai contoh, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), masyarakat muslim lebih nyaman menitipkan putra-putrinya di “Sekolah Islam Swasta” baik yang bernaung di bawah Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), maupun organisasi kemasyarakatan lain.

Di satu sisi, sudah menjadi “rahasia umum” bahwa manajemen pendidikan di “Sekolah Islam Swasta” masih perlu banyak perbaikan. Manajemen kepemimpinan yang masih mengedepankan sistem “dinasti” berlatar belakang keluarga atau teman dekat, rekruitmen personalia yang kurang profesional, kegiatan kesiswaan sesuka hati dan tidak berbasis pada potensi peserta didik, kurikulum yang tidak komprehensif, tata kelola keuangan yang tidak transparan, dan keterbatasan sarana dan prasarana merupakan problem yang tidak bisa tidak harus segera terselesaikan.

Supaya tuntas dan untuk menghindari ulasan kajian yang terlalu luas, dalam uraian ini penulis membatasi topik permasalahan seputar problem manajemen kepemimpinan di Sekolah Islam Terpadu sebagai ikhtiar untuk menjawab problematika manajemen pendidikan Islam. Harapannya, dengan pelaksanaan kepemimpinan yang efektif, “Sekolah Islam Terpadu” mampu bersaing secara kompetitif dengan “Sekolah Negeri” di tengah pusaran arus pendidikan global.

Rumusan Masalah

Pada makalah ini, penulis merumuskan beberapa masalah yang akan menjadi fokus pembahasan, di antaranya:

  1. Apa yang dimaksud dengan manajemen pendidikan Islam?
  2. Bagaimana problematika manajemen kepemimpinan di Sekolah Islam Terpadu?
  3. Bagaimana solusi atas problematika manajemen kepemimpinan di Sekolah Islam Terpadu?

Baca selengkapnya …

NASIHAT BAPAK


NASIHAT BAPAK

Oleh: Ahmad Saefudin

Hidup itu misteri. Sama seperti mati. Kemarin masih bergelimang harta. Sekarang menderita. Esok yang tahu siapa. Lusa juga begitu adanya. Kemarin memegang cangkul sebagai senjata. Bercucur keringat melawan terik. Kini berbekal pena. Bekerja di balik kursi. Berdasi rapi. Esok tersangka korupsi. Lusa masuk bui. Kemarin masih tertawa di depan televisi. Wawancara seputar kampanye dan janji-janji. Mengulas strategi. Menduduki jabatan suci. Pemangku negeri. Kini pesta demokrasi. hiruk pikuk survei menjadi-jadi. Menempatkan sang calon dalam urutan tertinggi. Besok ternyata tidak jadi. Tetap tak tahu malu di depan televisi. Mengincar posisi menteri. Melebur dalam koalisi.

Tahukah kawan? Apa yang tidak berubah? Bapakku. Yah! Bapakku! Meskipun rezim silih berganti. Bapakku masih saja bertani. Berangkat pagi. Sawah ladang disiangi. Berharap kepada serumpun padi. Murah mahal tidak jadi soal. Bapakku terus saja menanam. Menanam dan menanam lagi. Hingga pulang di sore hari.

Menunggu senja Bapakku selalu menyempatkan diri. Menonton televisi. Berteman secangkir kopi. Melihat tingkah polah elit di Jakarta sana. Politisi rebutan kursi. Entah paham atau tidak, Bapakku melayang pandang. Matanya menerawang. Ternyata, politisi yang dianggapnya kyai, juga tersandung skandal korupsi. Korupsi dana haji. Kendati kaget setengah mati. Esoknya Bapakku tetap bertani. Berangkat pagi. Sawah ladang disiangi. Berharap kepada serumpun padi. Murah mahal tidak jadi soal. Bapakku terus saja menanam. Menanam dan menanam lagi. Hingga pulang di sore hari.

Suatu malam, di depan televisi yang belum mati, Bapakku menasihati, “Nak! Kalau tidak mau dibui karena korupsi, jadilah petani. Jangan jadi politisi.” Anak yang berbakti, tidak berani bertanya lagi. Hanya bisa mengamini. Bapakku bicara lagi, “Tapi bukan petani seperti Bapak! Berangkat pagi, pulang sore hari, tetap saja begini. Kuliah yang tinggi. Bukan untuk jadi apa-apa. Cukup jadi manusia yang berhati. Kalaupun jadi politisi, jangan sampai korupsi! Biar setiap sore, kuburan Bapak kelak tidak pernah sepi. Selalu Kamu ziarahi.”

Yogyakarta, 24 Mei 2014

Dari Anak seorang Petani!

AGAMA DAN BUDAYA: BELAJAR KEPADA CLIFFORD GEERTZ


AGAMA DAN BUDAYA: BELAJAR KEPADA CLIFFORD GEERTZ

Oleh: Ahmad Saefudin

Agama menurut Clifford Geertz merupakan fakta kultural, bukan sekedar ekspresi kebutuhan sosial atau ekonomis –seperti kata Durkheim dan Karl Marx-. Pemahaman terhadap agama dalam satu tempat tertentu, sangat terbantu oleh kejelian kita melihat aneka simbol, ide, dan adat istiadat setempat. Melalui simbol keagamaan dengan segenap pola makna dan ide yang terlekat di dalamnya, manusia mengekspresikan sikap dan kesadarannya dalam menjalankan kehidupan. Inilah yang disebut Geertz sebagai budaya.

Perasaan nyaman orang Muslim sesudah melakukan aktivitas shalat lima waktu dalam sehari (tidak boleh kurang), kalangan Nasrani yang berbondong-bondong meramaikan gereja pada hari Minggu (bukan senin), para biksu yang tidak makan daging (padahal lezat) adalah sedikit contoh dari banyaknya sistem pengetahuan yang dibuat oleh agama yang ide-idenya akan ditaati dan dijalankan oleh pemeluknya. Realitas yang menurut Geertz sangat unik. Inti agama terletak pada konsepsi-konsepsi tentang dunia dan serangkaian motivasi serta dorongan-dorongan yang diarahkan oleh moral ideal. Agama memproyeksikan pandangan hidup dan etos yang saling mendukung satu sama lain.

Oleh karena budaya yang berlaku di setiap tempat itu berbeda, maka praktik ritual keagamaan pun beraneka ragam. Hal ini bisa dilihat dari upaya komparatif yang dilakukan Geertz untuk melihat fenomena keagamaan di Indonesia dan Maroko. Motivasi pemeluk Islam di Indonesia tergambar dari adanya kesadaran diri, ketenangan, kesabaran, penuh pertimbangan, kepekaan, asketisme, dan hampir bisa dikatakan tidak punya obsesi. Ihwal yang tidak ditemuinya ketika meneliti Islam di Maroko yang aktif, penuh semangat, berani, tergesa-gesa, ulet, moralis, populis, dan menekankan obsesi diri.

Perbedaan laku keagamaan perspektif kultural ini hendaknya kita pandang sebagai suatu kepastian yang tidak mungkin ditolak. Kita tidak perlu sinis, jijik, apa lagi underestimate terhadap ritual-ritual agama lain sebab mereka pun mempunyai konsepsi dan sistem berpikir tersendiri yang tentunya berbeda dengan apa yang kita percayai. Open minded, toleran, dan saling menghormati. Toh belum tentu, apa yang kita yakini saat ini tentang agama, akan terus kita pegangi dan seratus persen tidak berubah. Seiring dengan berjalannya waktu dan pengalaman kultural, paradigma keagamaan kita pun senantiasa berubah. Biarkan setiap manusia nyaman dengan keyakinannya, dengan begitu akan tercipta tatanan sosial yang ramah, santun, dan terhindar dari konflik. Wallahu a’lamu bi al-shawab.[]

Yogyakarta, 24 April 2014

BUKAN AGAMA, TAPI EKONOMI: CATATAN KECIL TENTANG KARL MARX


BUKAN AGAMA, TAPI EKONOMI: CATATAN KECIL TENTANG KARL MARX

Oleh: Ahmad Saefudin

Sebelum membaca Seven Theories of Religion dari Daniel L. Pals, mendengar kata “Marx” sontak yang muncul dalam benak dapat dipastikan hanyalah berputar pada istilah ateis, komunis, dan anti agama. Satu maklumat penting yang sulit terhapus dari Marx ialah komentarnya tentang agama sebagai candu masyarakat. Tetapi, setelah menelusuri lembar demi lembar eksplanasi yang dituangkan L. Pals, pemahaman tentang “Marx” mengalami surplus –setidaknya perbendaharaan terma-terma baru- sehingga sisi-sisi eksotis dari gagasan besar marxisme kian terang benderang.

Akumulasi terminologi baru itu sekurang-kurangnya terletak pada teori nilai surplus (surplus of value), basis-superstruktur, alienasi, perspektif lain tentang komunisme, agama, dan ekonomi. Nilai surplus dikaitkan dengan praktik relasi antara buruh (proletar) dengan majikan (borjuis). Proses pertukaran hasil produksi yang pada awalnya menjunjung prinsip kesetaraan, lambat laun terganyang oleh ideologi kapitalistik dengan visi utama meraih untung sebanyak-banyaknya. Majikan menindas buruh melalui pemberian upah yang tidak sebanding dengan proses dan hasil kerjanya. Jasa tenaga sebagai wujud nilai surplus buruh dieksploitasi sedemikian rupa sehingga kehidupan mereka menderita berbanding seratus delapan puluh derajat dengan status majikan yang semakin melejit akibat dari pundi-pundi kapital yang terus menumpuk. Kaum proletar tidak akan pernah mampu memperbaiki nasib mereka, tanpa gerakan revolusioner berbasis komunal untuk merebut hak-hak mereka yang telah dizalimi. Satu-satunya jalan ialah dengan kekerasan, sebab kaum borjuis mustahil mau menyerahkan secara sukarela apa yang mereka miliki. Pasca kondisi chaos tersebut, zaman akan berubah menjadi lebih baik, nyaman, dan damai. Transisi dari chaos menuju masa penuh kedamaian itu diisi oleh kepemimpinan diktator proletariat sampai benar-benar terwujud masyarakat tanpa kelas.

Akar historis gagasan-gagasan brilian Marx tidak bisa lepas dari pemikiran Hegel yang mengintrodusir teori idealisme dialektika. Menurut Hegel, pertarungan antara tesis, antitesis, dan sintesis berlangsung terus menerus dalam sejarah kehidupan manusia, -yang juga diadopsi oleh Marx-. Namun, Hegel lebih mengutamakan konflik tak berujung ini pada dataran ideasional, sedangkan Marx cenderung menitikberatkan pada wilayah materi (materialisme dialektika).

Dalam konteks beragama, Marx menyatakan dirinya sebagai seorang ateis yang sama sekali tidak percaya terhadap konsep Tuhan (Yang Absolut). Agama, yang bagi mayoritas manusia dianggap sebagai media penghubung antara manusia dengan Yang Absolut, menurut Marx hanyalah sebuah ilusi dan lambang kekecewaan atas kekalahan manusia dalam perjuangan kelas. Manusia yang tidak mampu menguasai ekonomi sebagai basis (pondasi) masyarakat merasa terasing (alienasi). Mereka melampiaskan kekecewaanya dengan mengalihkan perhatian kepada agama. Janji-janji manis agama tentang pahala, surga, bidadari, dan kenikmatan-kenikmatan yang lebih hakiki kelak di alam sana, membuat manusia sedikit lupa dengan permasalahan sebenarnya, misalnya kemiskinan. Padahal, semua itu adalah fantasi semu. Sejatinya, bukan agama –yang diposisikan Marx sebagai superstruktur masyarakat- yang dapat menyelesaikan problem kemanusiaan, melainkan ekonomi. Mudahnya, jika manusia sudah tercukupi secara ekonomis, maka tidak lagi memerlukan agama. Dengan logika terbalik, manusia butuh agama ketika himpitan ekonomi melanda. Kemiskinan mendorong manusia untuk lebih dekat dekat Tuhan, sering merapal doa dan lebih khusyu’ menjalankan ritual keagamaan. Ketika kaya, lupa segalanya, seolah agama tidak pernah ada.

Asumsi di atas ada benarnya. Tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Jika memang ekonomi menjadi faktor utama persoalan manusia, mengapa masih ada frustasi, depresi, bahkan kasus bunuh diri pada kalangan orang-orang berharta? Kita juga sering melihat orang kaya yang masih rajin ke masjid dan gereja. Berarti fenomena itu sudah cukup untuk menjadi dalil bahwa teori yang diusung Marx tentang determinisme ekonomi tidak sepenuhnya berlaku dalam realitas sosial. Terlepas dari berbagai kritik yang terlontar, kita sebagai Muslim juga tidak perlu malu dan harus jujur untuk mengakui bahwa pemikiran Karl Marx memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan peradaban dunia. Sedangkan kita? Wallahu a’lamu bi al-shawab.[]

Yogyakarta, 24 April 2014