Oleh: Ahmad Saefudin
Bagi mahasiswa, ujian adalah aktivitas horor yang mengerikan. Apapun istilahnya, Ujian Tengah Semester (UTS), Ujian Akhir Semester (UAS), Ujian Skripsi, dan sejenisnya, masih menjadi momok dan harus segera diselesaikan dalam tempo yang sesingkat2nya.
Sifat ujian tertulis yang dibuat oleh dosen biasanya terbagi menjadi dua jenis. “Open Book” yaitu bentuk ujian yang membolehkan mahasiswa untuk membuka buku2 referensi sebagai sumber jawaban dan “Close Book”, yang memaksa mahasiswa, apapun kondisinya, sama sekali tidak boleh membuka catatan. Saya sendiri cenderung menyukai tipe yang pertama. Cukup panjang untuk menjelaskan alasannya. Pantengin ya.. He..He..
Jenis ujian pertama mengandalkan daya ingat, penalaran, dan kedalaman analisis. Jawaban dari setiap butir pertanyaan tidak akan langsung ditemukan, meskipun sudah membalik lembar demi lembar halaman buku, jika tidak dibarengi dengan ketajaman nalar. Sehingga, mahasiswa dididik untuk membiasakan berpikir kritis (critical thinking).
Sedangkan ujian “Close Book” akan menguji tingkat kognisi mahasiswa. Bagi mereka yang dianugerahi ingatan jangka panjang (Long Term Memory), ujian jenis ini tidak begitu sulit. Cukup memejamkan mata, memanggil stok pengetahuan yang tersimpan dalam “hard disk” otak, dan dengan sendirinya soal demi soal akan terjawab. Apakah dengan menjawab benar, sesuai dengan teori yang dihapal, kemudian mahasiswa tersebut bisa dikatakan pintar? Tidak.
Saya sudah terlanjur percaya, tidak ada orang pintar. Yang ada ialah orang yang tahu lebih awal dari orang lain. Mahasiswa yang menjawab benar, bukan karena dia pintar, tapi karena ia lebih dulu membaca, mengalami, dan menemukan. Hal ini lumrah dan bukan sesuatu yang ajaib. Semua orang bisa melakukannya. Yang dibutuhkan hanyalah kerja ekstra keras, untuk berusaha mencari tahu, lebih dari orang2 pada umumnya.
Lalu, apa gunanya ujian jika akhirnya tidak mampu menunjukkan, siapa yang pintar dan siapa yang bodoh? Kawan! Siapa yang berani menjamin kesuksesan seseorang di masa depan? Tidak ada, dosen sekalipun. Meskipun kita bisa menjawab semua pertanyaan dalam ujian, mendapatkan predikat “A” alias cumlaude dalam Indeks Prestasi Komulatif (IPK), dilabeli mahasiswa terbaik saat wisuda, terkadang gagap ketika memasuki dunia nyata di luar kampus. Mencari kerja sulit, mau bisnis tak punya modal, studi lanjut belum siap, disuruh nikah belum ketemu jodohnya, kompleks bukan?
Ternyata, ujian sebenarnya ialah saat kita keluar dari kampus lama dan memasuki kampus baru, yaitu universitas kehidupan. Di sana, kita diajarkan bahwa hidup itu tidak selinear yang kita bayangkan. Penuh liku, tanjakan, turunan curam dan seringkali tidak sesuai dengan teori pakem yang selama ini kita pelajari. Mengandalkan daya ingat saja tidak cukup. Kita butuh improvisasi dan lompatan2 “unpredictable” untuk membuat orang lain tercengang. Itulah terminologi sukses yang sesungguhnya. Lulus dari ujian universitas kehidupan.
Siapa yang bisa melakukannya? Adalah mereka yang terbiasa berpikir kritis, melihat persoalan dari berbagai sudut pandang. Good job, guys! Saya menanti “succsess story” kalian. Walaupun kisah itu datang berpuluh2 tahun kemudian.