Oleh: Ahmad Saefudin (Mahasiswa Kampung)
Keresahan terhadap kondisi bangsa yang semakin hari semakin tidak jelas dan carut marut, selalu menggelora dan mengusik detik demi detik waktuku sebagai mahasiswa kampung.
Mulai dari kasus “perampokan” Bank Century oleh para elit birokrasi yang sampai hari ini belum menemukan titik terang dan masih berkutat pada pemeriksaan saksi oleh wakil-wakilku yang tergabung dalam pansus hak angket di Senayan, kasus ditemukannya fasilitas mewah milik Artalita Suryani Sang Penyuap di rumah tahanan Pondok Bambu oleh satgas mafia hukum yang semakin memperjelas bobroknya sistem penegakan hukum di Negara ini, ditambah lagi kasus pesta narkoba oleh para narapidana, juga kasus Anggodo Sang Maestro Sutradara Pengatur adu domba KPK dan Institusi POLRI, bencana alam, berlakunya perdagangan pasar bebas antara ASEAN dan China, semua ini menjadi tambahan pekerjaan rumah bagi semua elemen anak negeri untuk mengurai akumulasi benang kusut problematika kebangsaan.
Pengusutan atas penggelontoran uang rakyat sebesar 6,7 Triliyun rupiah entah sampai kapan akan berujung pada penguakan kebenaran. Apakah kerja maraton pansus hak angklet DPR RI terhadap kasus skandal bailout dana “Bank Century” mampu menyeret oknum-oknum pejabat tinggi Negara yang teledor dalam menjalankan tugasnya sebagai pelaksana agenda kerakyatan? Apakah dana tersebut bisa kembali ke kas Negara? Kalau pun kembali, apakah akan sampai kepada perut rakyat papa yang kelaparan? Sampai kepada anak-anak jalanan yang berjibaku di tengah terik mentari dan derasnya hujan untuk mengemis sekeping receh, padahal seharusnya mereka menikmati masa kecilnya bermain dan mengenyam bangku pendidikan sebagaimana layaknya anak-anak kecilnya para pejabat dan pengusaha? Apakah Rp. 6,7 T itu jika berhasil kembali ke tangan pemangku jabatan akan dikucurkan untuk menyangoni para guru honorer yang setiap hari menuntut kenaikan gaji dengan berdemonstrasi? Aku sebagai mahasiswa kampung yang tak tahu apa-apa tentang hal ini tak yakin. Biarlah mereka yang ahli dalam bidang ekonomi dan perbankkan bekerja keras mempertaruhkan kredibilitasnya untuk mengungkap siapa yang bersalah dalam kasus ini. Sudah semestinya, yang divonis bersalah menanggung konsekuensi logis menikmati hotel prodeo supaya jera dan merenungkan kesalahannya agar kelak tak terulang.
Tapi, di Negaraku biasa terjadi keanehan. Hotel prodeo yang notabene sebagai rumah tahanan bisa disulap menjadi hotel bintang lima yang penuh kenyamanan lengkap dengan segala fasilitasnya. AC, ruang karaoke, ruang rapat, kamar mandi mewah, pembantu pribadi, tukang salon pribadi, dan semuanya pribadi. Kembali, ini menunjukkan bahwa sindikat mafia hukum telah mengobok-obok institusi penegak hukum. Purnanya kasus Prita Mulyasari dengan “koin keadilan”nya dan Chandra-Bibit dengan “Kriminalisasi KPK”nya, ternyata belum cukup menggemborkan reot dan bobroknya institusi hukum dan para pendekarnya di Negara yang juga berdasarkan hukum ini. Bagaimana tidak demikian, jika realitas empiris memberikan fakta adanya bentuk perlakuan yang tidak sama antar sesama napi. Ujung-ujungnya duwit (UUD) ala Slankers masih menjadi top hits penyebab diskriminasi. Penjara tak lagi membuat si kaya jera. Artalita contoh konkritnya.
Dari dulu, penjajahan terhadap bangsa ini belum sirna. Kalau dulu kapitalis asing yang menggerogoti dan menyiksa rakyat Nusantara, hari ini rakyat disiksa oleh kapitalis pribumi. Penjajahan kultural menjadi-jadi. Penguasa melalui kebijakan nonpopulisnya sebagai tameng, pengusaha jadi aktor intelektual dan eksekutornya. Lengkap sudah penyiksaan sistemik terhadap rakyat kecil. Sudah miskin finansial, akal mereka juga dikondisikan bodoh menerima kepahitan hidup di negeri subur makmur ini. Lama-lama, sikap mereka juga masa bodoh akibat sudah terlalu akutnya kemiskinan yang menimpa. Bahkan keserbakekurangan itu sudah menjadi hal biasa bak teman keseharian.
Sebagai mahasiswa kampung yang gelisah, mencoba berpekik lantang. Hanya ada dua kata! LAWAN dan HANCURKAN segala bentuk imperialisme baru bertopeng dewa.
Dulu, Tcipto Mangun Kusumo pernah pernah berpandangan tentang tipologi kaum borjuis dengan berkata, “Saya sebut bangsawan dan pemerintah dalam satu nafas, sebab mereka harus dianggap secara bersama sebagai akar sebab kesewenang-wenangan di sini”.
Mantap bukan penilaian tokoh pejuang kemerdekaan barusan? Coba ada pemuda atau mahasiswa yang berani berkoar seperti dia, pasti meradang telinga para pejabat Negara sekarang!
Entah apa yang akan terjadi dengan bangsa ini ke depan, jika sistem ekonomi kapitalistik, yang menyerahkan segala urusan sepenuhnya pada kebebasan pasar tanpa kontrol intensif dari pemangku kebijakan. Diperparah lagi dengan sistem politik yang juga kapitalistik, yang memberikan peluang lebih besar kepada pemodal (kaum kapitalis) untuk duduk di jajaran esekutif dan legislatif melalui mekanisme PEMILU (Pembelian Umum).
Sudah tentu membuat tugas agen penyadaran (mahasiswa) semakin berat. Tekad dan nekat akhirnya muncul sebagai tindakan setrategis untuk bergerak dalam upaya melawan dan menghancurkan kapitalis jalang.
Gloria Stenem pun sepakat dengan tindakan yang dipilih mahasiswa, meskipun sedikit ada kekecewaan, karena jika setiap orang (bukan hanya mahasiswa) berjanji melakukan sesuatu yang nekat hari ini, dunia akan menjadi lebih baik. Itulah janjinya.
Wahai Pemimpin Bangsa! Dengarkan ocehan mahasiswa kampung tak tahu diri ini. Meskipun tak tahu diri, paling tidak Aku bisa dan pernah merasakan bagaimana sengsaranya mereka yang kalian tindas dengan kebijakan-kebijakan yang tidak menyentuh dan berdampak langsung bagi kesejahteraan si miskin. Karena Aku (mungkin) juga tergolong miskin.
Dengarkanlah! Wahai para pemimpin Bangsa! Donald H McGannon telah mendefinisikan arti kepemimpinan yang seharusnya kalian laksanakan. Kepemimpinan tercermin dari tindakan, bukan kedudukan.
Walaupun kedudukan kalian pemimpin bangsa, tapi perilaku kalian selalu menindas, menyiksa, dan membiarkan rakyat miskin semakin miskin, kalian tak ubahnya sebagai penjilat rakus yang mengeksploitasi kekayaan Negara bukan demi kepentingan umum. Kasarnya, masuk kantong pribadi. Capaian pertumbuhan ekonomi sebesar 6% pada tahun 2009 kemarin, hanya dinikmati segelintir borjuis penghisap kekayaan negeri ini. Semestinya, kalian para pemimpin memperjuangkan hak-hak yang dipimpin dengan cara kalian. Biarlah Aku dan teman-temanku berjuang dengan cara kami yang tujuannya juga tak kalah mulia dari perjuangan kalian. Perjuangan tulus membantu si lemah mengentaskan diri dari kubangan lumpur kemiskinan dan ketertindasan.
Inilah cara kami berjuang. Memelopori gerakan moral dan sosial yang berguna bagi generasiku dan sesudahku, berusaha memberikan jasa besar bagi masyarakat umum, dan memberikan pencerahan kepada masyarakat dengan kata-kata inspiratif. Karena dengan cara inilah yang menurut The Tso Chuan merupakan tiga pencapaian yang tak akan mati dalam kehidupan.
Kalau Aku tak resah, maka Aku sama dungunya dengan si bodoh yang dipaksa untuk tidak mengenyam bangku sekolah. Predikat mahasiswa kampung cukup membagakan bagiku.
Seyogyanya, mahasiswa era sekarang tidak cukup mengandalkan kecerdasan. Bangunlah karakter dan kepribadian kalian sebagai manusia yang humanis. Perangi segala bentuk dehumanisasi dalam bidang apapun. Belajarlah untuk bisa menjadi mahasiswa yang bernilai, tanpa memperhitungkan seberapa besar nilai kalian.
Masih ada saja cerita dari Negaraku yang aneh dan penuh orang-orang bodoh. Yang pintar pun berlagak bodoh sebab dibuat buta dan tuli akan kebenaran nurani. Orang pintar di negaraku lebih bangga disebut ulama’. Mendengar kata ini, persepsi yang kemudian muncul dalam benak masyarakat adalah selalu ibadah kepada Allah. Tapi sayangnya, kebanyakan ibadah ulama’ yang ada di negeriku masih bersifat normatif dan moral. Normatif karena mengacu pada ibadah-ibadah ritual seperti sholat, zakat, puasa, dan haji. Bersifat moral karena memandang berbagai persoalan dari kaca mata binner. Baik-buruk, hitam-putih, benar-salah, dan halal-haram. Di luar itu, bukanlah tanggung jawab mereka. Sehingga, belum menyentuh pada substansi ibadah yakni aspek sosial.
Yang terjadi dalam beberapa kasus misalnya, puasa hanyalah peralihan waktu aktivitas makan dan minum dari siang ke malam, tanpa memaknai substansi puasa yaitu bagaimana si miskin menghabiskan hari-hari mereka dengan menyangga perut lapar. Zakat tidak dimaknai sebagai rasa solidaritas untuk memberikan hak-hak si miskin yang selama ini mereka (kaum kapitalis) ambil dengan paksa. Haji tiada bedanya dengan rekreasi bermotif spiritual, bukan menghayati pengorbanan Ismail dan Ibrahim dalam menjalankan mandat kenabian.
Pantaslah jika ada ulama dan aghniya’ yang lebih suka haji tujuh kali, padahal di samping rumahnya berdiri gubuk reot mustadh’afin, yatim yang tak sekolah, buruh kasar dengan gaji pas-pasan, bahkan tidak mencukupi kebutuhan keseharian. Lalu, apakah ini kerja para ulama negeriku dalam melaksanakan ayat-ayat Al Qur’an dan sunnah-sunnah Nabinya?
Inilah keresahanku sebagai mahasiswa kampung ketika bicara problem bangsa. Aku tak tahu keresahan mahasiswa selain Aku. Yang pasti mereka (para mahasiswa) masih menjadi garda depan dalam mengontrol dan mengawal birokrasi pemerintahan. Membela hak-hak kaum lemah. Memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran.
Salam Perlawanan Wahai Kaum Penindas!
Komisariat Ratu Kalinyamat PMII INISNU Jepara, Kamis 14 Januari 2010, Pukul 16.23 WIB.