PUASA KAUM PAPA;PROTES PENGUASA



Oleh: Ahmad Saefudin

Di pojok tenda itu
Berpuluh nyawa segera tergadai
Dengan sadar
Tiada gentar
Memampang raut gusar
Melawan antek tiran berbadan kekar

Tanpa tenaga
Tanpa kata
Tanpa senjata
Berpuasa

Di pojok tenda itu
Berpuluh jiwa
Renta-Muda
Menjemput ajal yang kian dekat
Berpuasa
Simbol protes kaum papa
Pada penguasa durjana
Yang dengan pena nya
Dengan sadar
Merampas
Menindas
Berselingkuh dengan para pengusaha hina

Di pojok tenda itu
Aku
Sejak pekan lalu
Mogok makan
Bersama sahabat-sahabatku

(Aksi Solidaritas Tolak PLTU Batang)

HILANGNYA TRUST TERHADAP ORGAN KEMAHASISWAAN


Oleh: Saifur Rohim (Mandataris terpilih Komisariat Ratu Kalinyamat PMII INISNU Jepara periode 2020-2011)

Pergerakan atau organisasi mahasiswa merupakan salah satu wadah untuk pengembangan diri di luar kegiatan kampus dan salah satu simbol media action, sehingga gerakan itu tidak sebatas pada tataran wacana saja melainkan implementasi dari sebuah wacana yang di ekseplorasi ke dalam tindakan yang sesuai dengan keinginan masyarakat yang mampu menimbulkan sebuah paradigma masyarakat ke arah lebih baik. Wadah atau organisasi mahasiswa juga sebagai wahana ide-ide kreatif yang bertujuan untuk kepentingan nasional, sosial masyarakat. Jadi, subtansi dari sebuah pergerakan atau organisasi itu berkiblat pada nilai kebenaran atau keadilan (antara yang hak dan yang batil) yang dalam bahasa kerennya sebagai agen perubahan pada masyarakat, tetapi disini perlu diketahui bahwa subtansi tersebut akan luntur ketika pergerakan atau organisasi tersebut sudah ternodai oleh kebebasan normatif dan kebiasaan buruk oknum-oknum aktifis pergerakan serta tidak patuh terhadap track record organisasi. Dan yang lebih ironi lagi apabila perjuangan tersebut sudah diiming-imingi oleh hal-hal yang bersifat materi. baca selengkapnya

UNEG UNEG ENEG MAHASISWA?


 

Oleh: Ahmad Saefudin (Mahasiswa INISNU yang ga’ lulus lulus)

Kalau pemuda sudah berumur 21, 22, sama sekali tidak berjuang, tak bercita-cita, tak giat untuk tanah air dan bangsa…
Pemuda yang begini baiknya digunduli saja kepalanya…
(Pesan Bung Karno)

Mendengar nasehat Sang Singa Podium di atas, kita layak malu dan baiknya lekas berinstropeksi. Sambil tarik napas sedalam-dalamnya, simpan sejenak dalam hati kemudian bertanya pada diri; di usia kita sekarang, apa yang sudah kita berikan pada bangsa? Kemudian keluarkan napas Anda dan mulai berpikir untuk menjawabnya.
Alah… Jangan ngomong bangsa, ngurusin diri aja ga’ becus. Mungkin ini jadi salah satu jawabannya. Ada benarnya juga. Mahasiswa sekarang susah untuk diajak membincangkan bangsa. Berat. Pusing. Impossible. Kita lebih sibuk mikirin bagaimana ngilangin jerawat di wajah culun kita daripada pusing mikirin jerawat dan borok wajah Ibu Pertiwi. Lebih sering meluangkan waktu untuk ngurusin rambut biar ga’ ketombean dan ga’ out of date model potongannya daripada susah payah membincangkan penampilan bangsa di mata dunia. Inilah fenomena mahasiswa kontemporer.

Padahal kalau dulu, mahasiswa seusia kita macam Bung karno, Hatta, Natsir, Syahrir, Tan Malaka, Tjipto Mangun Kusumo dan kawan-kawannya yang kalau kusebutin kita pasti tambah ga’ kenal, tak pernah lepas sedetik pun membincangkan persoalan kebangsaan dalam setiap aktivitasnya.

Sedikit bercerita, Bung Karno terkenal dengan kegarangannya dalam berpidato. Kalau mau lihat isi pidatonya bisa cari buku yang berjudul ”Di Bawah Bendera Revolusi”. Saya jamin isinya lebih menarik ketimbang ceramahnya dosen ataupun pimpinan kampus saat memberikan mata kuliah yang kadang menjemukan. Bikin ngantuk dan gerah. Mau tahu kisah perjalanan Presiden RI pertama di masa mudanya? Nich sedikit kutipan kata-katanya (sedikit aja, kalau mau banyak beli sendiri bukunya):

“….saya sendiri kalau berhadapan dengan pemuda rasa hatiku kok lantas panas…bukan panas benci, tidak, tapi panas karena semangat…Aku ini, he, anak-anakku sekalian, dulu tatkala Aku berumur 15 tahun…Bapak sudah mencantumkan cita-cita Bapak setinggi bintang di langit, umur 16 tahun Bapak menjadi anggota pergerakan pemuda, umur 18 tahun bapak sudah masuk gerakan politik dan umur 29 tahun Bapak dijebloskan ke penjara…”

Keren kan ceritanya..? Petualangaannya seru melebihi kisah sinetron di televisi. Itu lho… Kisah fiktif yang sering kita tongkrongin ga’ berkedip. baca selengkapnya

PEMILU 2009; antara Tua dan Muda*


Oleh: Ahmad Saefudin**

Menjelang pesta demokrasi terakbar di bumi Indonesia ini, persiapan demi persiapan perlu dilakukan. Bukan hanya kontestan PEMILU saja (baca: partai) yang berhak memoles wajahnya agar terlihat anggun pada perhelatan tersebut, melainkan semua pihak baik kalangan elit maupun alit hendaknya menata diri.

Politikus sering berkoar, “nasib bangsa lima tahun ke depan ditentukan hari ini yakni ketika Anda masuk dalam bilik suara dan memilih calon pemimpin yang kelak dipercaya sebagai sosok yang mampu membawa kesejahteraan (meskipun kadang yang menyoblos tidak dalam keadaan sadar ketika menjatuhkan pilihan mereka)”.

Jargon-jargon syarat kepentingan mulai menghiasi telinga kita. KEADILAN, KEMAKMURAN, PERSATUAN, KEBANGKITAN, dan saudara-saudaranya terlontar begitu murah dari politikus (yang lagaknya seperti marketing atau bahasa kerennya sales dari perusahaan politik). Tapi, mengapa manifestasi kata-kata murahan tadi begitu mahal?
KEADILAN bagi siapa jika dalam mewujudkannya rela mengorbankan KEADILAN lain? KEMAKMURAN mana yang belum mampu mengangkat 34,96 juta rakyat berlabel MISKIN? (Suara Merdeka, Jumat, 18 Juli 2008). PERSATUAN seperti apa yang telah merenggut Sipadan dan Lilitan dari pangkuan Ibu Pertiwi? KEBANGKITAN? Sejak seratus tahun silam kita mendengungkan kata BANGKIT, tapi hasilnya? (Maaf jika emosi Saya labil).

Banyak kalangan termasuk Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB IKA PMII) Arief Mudatsir Mandan pesimis jika pemilu mendatang menghasilkan pemimpin ideal (Suara Merdeka, Jumat, 18 Juli 2008). Lebih lanjut Anggota Dewan Kehormatan DPR RI ini mengatakan bahwa ideologi parpol saat ini hanya berorientasi pada modal. Bahkan, kapitalisasi diteguhkan dalam UU Penanaman Modal Asing yang notabene sangat pro kepada investor dan mengebiri rakyat.

Jangan salahkan bila SLANK berkreasi dengan lirik-lirik nakal yang membuat elit politik meradang. Mafia di Senayan/Kerjanya buat peraturan/Bikin UUD/Ujung-ujungnya Duit…. Dewan Perwakilan Rakyat berevolusi menjadi Duit Perwakilan Rakyat. Untungnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih berkomitmen dengan tugas dan fungsinya. Satu per satu lintah negara terpangkas. Jika tidak, pohon Nusantara yang lebat ini terancam punah tergerogoti ganasnya benalu tak tahu malu.

Setelah merenung ke masa lalu, mari kita berangan-angan ke Indonesia masa depan. Indonesia dengan tanah suburnya yang memungkinkan petani tidak lagi sengsara. Indonesia dengan minyaknya yang (seharusnya) mampu memenuhi pasokan kebutuhan rakyat tanpa harus mengimpor dari bangsa lain. Indonesia dengan keanekaragamannya yang mampu memikat hati turis manca. Indonesia bukan hanya Bali. Ada Aceh, Papua, Bangka, dan banyak lagi potensi yang belum tergali. Semua itu mustahil terjamah hanya melalui tangan pemimpin (baca: presiden), melainkan kita yang bisa mengolahnya. Presiden hanya satu, kita seribu. Tangan presiden cukup dua, kita sejuta. KEADILAN, KEMAKMURAN, PERSATUAN, dan KEBANGKITAN Republik Indonesia ada dalam genggaman kita. Bukan di tangan DPR, politisi, polisi atau siapapun.

Meraba bursa pencalonan pemimpin bangsa, issu klasik kembali muncul. Padahal, setelah peristiwa Rengasdengklok, pertentangan wacana antara istilah tua dan muda tenggelam. Setidaknya sudah ada beberapa nama kandidat yang terang-terangan dan gelap-gelapan mem(di)proklamirkan sebagai presiden RI seperti Susilo Bambang Yudhoyono (maaf, Saya tak mau menyingkat nama beliau karena bisa salah tafsir), Megawati Soekarnoputri, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Hidayat Nur Wahid, Wiranto, Jussuf Kalla, Gus Dur, dan Yusril Ihza Mahendra. Saya tidak menyebutkan nama lagi, bukan berarti menyempitkan ruang bagi calon lain. Namun karena faktor efisiensi saja. Apalagi jika diteruskan, nanti dianggap pak guru yang sedang mengabsen murid-muridnya. (jadi tidak seru kan?). Anda bisa mengaitkan nama-nama di atas dengan issu tua-muda yang lagi merebak. Jangan hanya dinilai dari aspek fisik maupun usia an sich, tetapi lebih kepada semangat mereka. Gamblangnya, bagaimana visi dan komitmen mereka ngopeni (mengurus) rakyat. Percuma tanah subur, tapi rakyat hancur. Beras melimpah, namun saudara kita masih ada yang menyandang busung lapar. Ikan tersebar di hamparan samudera, tapi nelayan tak mampu menuai karena perahu-perahu mereka kalah cepat dengan pelaut asing.

Pemilu 2009 merupakan tonggak sejarah baru untuk menciptakan pemimpin masa depan (Saya tidak terhegemoni ucapan politikus di atas, apalagi terkooptasi). Siapapun pemimpinnya yang penting bisa membuat rakyat sejahtera, tidak peduli tua ataupun muda. Bagaimana menurut Anda?

* Tulisan ini pernah dimuat di majalah “BURSA” LPM INISNU Jepara edisi Januari 2009
**Penulis adalah pengurus Lembaga Pers Mahasiswa Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara

KERESAHAN MAHASISWA KAMPUNG


    AHMAD SAEFUDINOleh: Ahmad Saefudin (Mahasiswa Kampung)

    Keresahan terhadap kondisi bangsa yang semakin hari semakin tidak jelas dan carut marut, selalu menggelora dan mengusik detik demi detik waktuku sebagai mahasiswa kampung.

    Mulai dari kasus “perampokan” Bank Century oleh para elit birokrasi yang sampai hari ini belum menemukan titik terang dan masih berkutat pada pemeriksaan saksi oleh wakil-wakilku yang tergabung dalam pansus hak angket di Senayan, kasus ditemukannya fasilitas mewah milik Artalita Suryani Sang Penyuap di rumah tahanan Pondok Bambu oleh satgas mafia hukum yang semakin memperjelas bobroknya sistem penegakan hukum di Negara ini, ditambah lagi kasus pesta narkoba oleh para narapidana, juga kasus Anggodo Sang Maestro Sutradara Pengatur adu domba KPK dan Institusi POLRI, bencana alam, berlakunya perdagangan pasar bebas antara ASEAN dan China, semua ini menjadi tambahan pekerjaan rumah bagi semua elemen anak negeri untuk mengurai akumulasi benang kusut problematika kebangsaan.

    Pengusutan atas penggelontoran uang rakyat sebesar 6,7 Triliyun rupiah entah sampai kapan akan berujung pada penguakan kebenaran. Apakah kerja maraton pansus hak angklet DPR RI terhadap kasus skandal bailout dana “Bank Century” mampu menyeret oknum-oknum pejabat tinggi Negara yang teledor dalam menjalankan tugasnya sebagai pelaksana agenda kerakyatan? Apakah dana tersebut bisa kembali ke kas Negara? Kalau pun kembali, apakah akan sampai kepada perut rakyat papa yang kelaparan? Sampai kepada anak-anak jalanan yang berjibaku di tengah terik mentari dan derasnya hujan untuk mengemis sekeping receh, padahal seharusnya mereka menikmati masa kecilnya bermain dan mengenyam bangku pendidikan sebagaimana layaknya anak-anak kecilnya para pejabat dan pengusaha? Apakah Rp. 6,7 T itu jika berhasil kembali ke tangan pemangku jabatan akan dikucurkan untuk menyangoni para guru honorer yang setiap hari menuntut kenaikan gaji dengan berdemonstrasi? Aku sebagai mahasiswa kampung yang tak tahu apa-apa tentang hal ini tak yakin. Biarlah mereka yang ahli dalam bidang ekonomi dan perbankkan bekerja keras mempertaruhkan kredibilitasnya untuk mengungkap siapa yang bersalah dalam kasus ini. Sudah semestinya, yang divonis bersalah menanggung konsekuensi logis menikmati hotel prodeo supaya jera dan merenungkan kesalahannya agar kelak tak terulang.

    Tapi, di Negaraku biasa terjadi keanehan. Hotel prodeo yang notabene sebagai rumah tahanan bisa disulap menjadi hotel bintang lima yang penuh kenyamanan lengkap dengan segala fasilitasnya. AC, ruang karaoke, ruang rapat, kamar mandi mewah, pembantu pribadi, tukang salon pribadi, dan semuanya pribadi. Kembali, ini menunjukkan bahwa sindikat mafia hukum telah mengobok-obok institusi penegak hukum. Purnanya kasus Prita Mulyasari dengan “koin keadilan”nya dan Chandra-Bibit dengan “Kriminalisasi KPK”nya, ternyata belum cukup menggemborkan reot dan bobroknya institusi hukum dan para pendekarnya di Negara yang juga berdasarkan hukum ini. Bagaimana tidak demikian, jika realitas empiris memberikan fakta adanya bentuk perlakuan yang tidak sama antar sesama napi. Ujung-ujungnya duwit (UUD) ala Slankers masih menjadi top hits penyebab diskriminasi. Penjara tak lagi membuat si kaya jera. Artalita contoh konkritnya.
    Dari dulu, penjajahan terhadap bangsa ini belum sirna. Kalau dulu kapitalis asing yang menggerogoti dan menyiksa rakyat Nusantara, hari ini rakyat disiksa oleh kapitalis pribumi. Penjajahan kultural menjadi-jadi. Penguasa melalui kebijakan nonpopulisnya sebagai tameng, pengusaha jadi aktor intelektual dan eksekutornya. Lengkap sudah penyiksaan sistemik terhadap rakyat kecil. Sudah miskin finansial, akal mereka juga dikondisikan bodoh menerima kepahitan hidup di negeri subur makmur ini. Lama-lama, sikap mereka juga masa bodoh akibat sudah terlalu akutnya kemiskinan yang menimpa. Bahkan keserbakekurangan itu sudah menjadi hal biasa bak teman keseharian.

    Sebagai mahasiswa kampung yang gelisah, mencoba berpekik lantang. Hanya ada dua kata! LAWAN dan HANCURKAN segala bentuk imperialisme baru bertopeng dewa.

    Dulu, Tcipto Mangun Kusumo pernah pernah berpandangan tentang tipologi kaum borjuis dengan berkata, “Saya sebut bangsawan dan pemerintah dalam satu nafas, sebab mereka harus dianggap secara bersama sebagai akar sebab kesewenang-wenangan di sini”.
    Mantap bukan penilaian tokoh pejuang kemerdekaan barusan? Coba ada pemuda atau mahasiswa yang berani berkoar seperti dia, pasti meradang telinga para pejabat Negara sekarang!

    Entah apa yang akan terjadi dengan bangsa ini ke depan, jika sistem ekonomi kapitalistik, yang menyerahkan segala urusan sepenuhnya pada kebebasan pasar tanpa kontrol intensif dari pemangku kebijakan. Diperparah lagi dengan sistem politik yang juga kapitalistik, yang memberikan peluang lebih besar kepada pemodal (kaum kapitalis) untuk duduk di jajaran esekutif dan legislatif melalui mekanisme PEMILU (Pembelian Umum).

    Sudah tentu membuat tugas agen penyadaran (mahasiswa) semakin berat. Tekad dan nekat akhirnya muncul sebagai tindakan setrategis untuk bergerak dalam upaya melawan dan menghancurkan kapitalis jalang.

    Gloria Stenem pun sepakat dengan tindakan yang dipilih mahasiswa, meskipun sedikit ada kekecewaan, karena jika setiap orang (bukan hanya mahasiswa) berjanji melakukan sesuatu yang nekat hari ini, dunia akan menjadi lebih baik. Itulah janjinya.

    Wahai Pemimpin Bangsa! Dengarkan ocehan mahasiswa kampung tak tahu diri ini. Meskipun tak tahu diri, paling tidak Aku bisa dan pernah merasakan bagaimana sengsaranya mereka yang kalian tindas dengan kebijakan-kebijakan yang tidak menyentuh dan berdampak langsung bagi kesejahteraan si miskin. Karena Aku (mungkin) juga tergolong miskin.
    Dengarkanlah! Wahai para pemimpin Bangsa! Donald H McGannon telah mendefinisikan arti kepemimpinan yang seharusnya kalian laksanakan. Kepemimpinan tercermin dari tindakan, bukan kedudukan.
    Walaupun kedudukan kalian pemimpin bangsa, tapi perilaku kalian selalu menindas, menyiksa, dan membiarkan rakyat miskin semakin miskin, kalian tak ubahnya sebagai penjilat rakus yang mengeksploitasi kekayaan Negara bukan demi kepentingan umum. Kasarnya, masuk kantong pribadi. Capaian pertumbuhan ekonomi sebesar 6% pada tahun 2009 kemarin, hanya dinikmati segelintir borjuis penghisap kekayaan negeri ini. Semestinya, kalian para pemimpin memperjuangkan hak-hak yang dipimpin dengan cara kalian. Biarlah Aku dan teman-temanku berjuang dengan cara kami yang tujuannya juga tak kalah mulia dari perjuangan kalian. Perjuangan tulus membantu si lemah mengentaskan diri dari kubangan lumpur kemiskinan dan ketertindasan.

    Inilah cara kami berjuang. Memelopori gerakan moral dan sosial yang berguna bagi generasiku dan sesudahku, berusaha memberikan jasa besar bagi masyarakat umum, dan memberikan pencerahan kepada masyarakat dengan kata-kata inspiratif. Karena dengan cara inilah yang menurut The Tso Chuan merupakan tiga pencapaian yang tak akan mati dalam kehidupan.

    Kalau Aku tak resah, maka Aku sama dungunya dengan si bodoh yang dipaksa untuk tidak mengenyam bangku sekolah. Predikat mahasiswa kampung cukup membagakan bagiku.

    Seyogyanya, mahasiswa era sekarang tidak cukup mengandalkan kecerdasan. Bangunlah karakter dan kepribadian kalian sebagai manusia yang humanis. Perangi segala bentuk dehumanisasi dalam bidang apapun. Belajarlah untuk bisa menjadi mahasiswa yang bernilai, tanpa memperhitungkan seberapa besar nilai kalian.

    Masih ada saja cerita dari Negaraku yang aneh dan penuh orang-orang bodoh. Yang pintar pun berlagak bodoh sebab dibuat buta dan tuli akan kebenaran nurani. Orang pintar di negaraku lebih bangga disebut ulama’. Mendengar kata ini, persepsi yang kemudian muncul dalam benak masyarakat adalah selalu ibadah kepada Allah. Tapi sayangnya, kebanyakan ibadah ulama’ yang ada di negeriku masih bersifat normatif dan moral. Normatif karena mengacu pada ibadah-ibadah ritual seperti sholat, zakat, puasa, dan haji. Bersifat moral karena memandang berbagai persoalan dari kaca mata binner. Baik-buruk, hitam-putih, benar-salah, dan halal-haram. Di luar itu, bukanlah tanggung jawab mereka. Sehingga, belum menyentuh pada substansi ibadah yakni aspek sosial.

    Yang terjadi dalam beberapa kasus misalnya, puasa hanyalah peralihan waktu aktivitas makan dan minum dari siang ke malam, tanpa memaknai substansi puasa yaitu bagaimana si miskin menghabiskan hari-hari mereka dengan menyangga perut lapar. Zakat tidak dimaknai sebagai rasa solidaritas untuk memberikan hak-hak si miskin yang selama ini mereka (kaum kapitalis) ambil dengan paksa. Haji tiada bedanya dengan rekreasi bermotif spiritual, bukan menghayati pengorbanan Ismail dan Ibrahim dalam menjalankan mandat kenabian.

    Pantaslah jika ada ulama dan aghniya’ yang lebih suka haji tujuh kali, padahal di samping rumahnya berdiri gubuk reot mustadh’afin, yatim yang tak sekolah, buruh kasar dengan gaji pas-pasan, bahkan tidak mencukupi kebutuhan keseharian. Lalu, apakah ini kerja para ulama negeriku dalam melaksanakan ayat-ayat Al Qur’an dan sunnah-sunnah Nabinya?

    Inilah keresahanku sebagai mahasiswa kampung ketika bicara problem bangsa. Aku tak tahu keresahan mahasiswa selain Aku. Yang pasti mereka (para mahasiswa) masih menjadi garda depan dalam mengontrol dan mengawal birokrasi pemerintahan. Membela hak-hak kaum lemah. Memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran.

    Salam Perlawanan Wahai Kaum Penindas!
    Komisariat Ratu Kalinyamat PMII INISNU Jepara, Kamis 14 Januari 2010, Pukul 16.23 WIB.