GURU PROGRESIF; TELAAH PEMIKIRAN PAULO FREIRE TENTANG PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN


GURU PROGRESIF; TELAAH PEMIKIRAN PAULO FREIRE TENTANG PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN

Oleh: Ahmad Saefudin

Pada dasarnya, siapapun bisa menjadi “guru yang membebaskan”, karena –meminjamistilahnya M. J. Langeveld- cara mendidik itu dapat dipelajari.[1] Permasalahan yang muncul biasanya bukan seputar jawaban apakah kita “mampu” menjadi “guru yang membebaskan”, melainkan apakah kita “mau”melakukannya di tengah konstelasi ideologi-ideologi pendidikan yang berkembang?

William F. O’neil mengklasifikasikan ideologi pendidikan kontemporer ke dalam dua kelompok besar, yakni ideologi pendidikan konservatif dan ideologi pendidikan liberal. Bagi pendidik konservatif, tujuan puncak pendidikan ialah untuk membangkitkan dan meneguhkan kembali cara-cara lama yang lebih baik serta memapankan kembali tolok ukur tradisional dalam perilaku dan keyakinan. Salah satu cirinya mendudukkan wewenang intelektual tertinggi berada di tangan komunitas orang-orang yang memiliki iman sejati. Kebenaran ditentukan melalui sebuah kesepakatan di antara orang-orang yang telah mencapai pencerahan moral. Kelompok ini kemudian diistilahkan sebagai penganut paham fundamentalisme pendidikan.[2] Masih sekubu dengan kaum fundamentalis, terdapat kaum konservatif lain. Mereka mengikuti paham intelektualisme pendidikan. Golongan ini berpendapat bahwa pendidikan harus dipasrahkan kepada elit intelektual yang berpendidikan tinggi. Wewenang dan kebijaksanaan guru lebih tinggi dibandingkan peserta didik. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar sepenuhnya diarahkan pada garis-garis yang ditetapkan oleh guru. Penekanan ranah intelektual (ide) lebih penting daripada wilayah praktis (yang segera berguna bagi peserta didik).[3] Ideologi konservatif terakhir, dinamakan O’neil sebagai paham konservatisme pendidikan yang mempercayai bahwa tujuan pendidikan adalah untuk melestarikan dan menyalurkan pola-pola perilaku sosial konvensional. Pengetahuan adalah sebuah cara untuk mengajukan nilai-nilai kemapanan sosial. Peserta didik memerlukan bimbingan yang ketat dari para guru.[4] Baca selengkapnya …

RELIGIUS DAN JUJUR PERSPEKTIF AL-QUR’AN; SUMBANGAN UNTUK PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA


RELIGIUS DAN JUJUR PERSPEKTIF AL-QUR’AN; SUMBANGAN UNTUK PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA

Oleh: Ahmad Saefudin

 

Al-Qur’an dan Pendidikan Karakter

Al-Qur’an bukan sekedar kitab suci yang jika dibaca akan bernilai ibadah. Kalam Tuhan yang pada awalnya sebagai bukti kerasulan Muhammad SAW dan kebenarannya –dari zaman Abu Jahal hingga era global- tidak terbantahkan mengandung nilai-nilai ajaran universal mencakup seluruh aspek kehidupan. Sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya:

Artinya: “Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab (Al-Qur’an), kemudian kepada Tuhan mereka dikumpukan”.[1]

Penulis mengikuti pendapat sebagian mufasir yaang menerjemahkan lafal ﺍﻟﻜﺗﺍﺐ dengan Al-Qur’an seperti yang terdapat dalam catatan kaki Kitab Al-Qur’an terbitan Departemen Agama RI. Berarti, Al-Qur’an dengan 6.666 ayatnya telah menyentuh berbagai bidang kehidupan seperti pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah, dan tuntunan untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat.[2] Tetapi, esensi ajaran-ajaran Al-Qur’an tidak semuanya siap untuk “dikonsumsi”. Terdapat beberapa nilai yang tersirat sehingga untuk memanifestasikan dalam perilaku sehari-hari memerlukan “proses” penjelasan lebih lanjut agar tidak salah paham. Baca Selengkapnya …

FORMULASI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM (ANALISIS KOMPARATIF ANTARA PEMIKIRAN OMAR MOHAMMAD AL-TOUMY AL-SYAIBANI DAN MUHAMMAD JAWWAD RIDLA DENGAN GEORGE R. KNIGHT TENTANG FILSAFAT PENDIDIKAN)


FORMULASI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM (ANALISIS KOMPARATIF ANTARA PEMIKIRAN OMAR MOHAMMAD AL-TOUMY AL-SYAIBANI DAN MUHAMMAD JAWWAD RIDLA DENGAN GEORGE R. KNIGHT TENTANG FILSAFAT PENDIDIKAN)

Oleh: Ahmad Saefudin

Filsafat Pendidikan Islam bagaikan “alat kelamin” bagi pendidikan Islam yang memberikan perbedaan karakteristik terhadap pendidikan sekuler. Setidaknya, dengan mengacu pada gagasan-gagasan filosof Muslim, pendidikan Islam “tidak malu” menunjukkan identitasnya dalam mengembangkan cakrawala pengetahuan yang berguna bagi perkembangan peradaban. Islam dalam pandangan Muhammad Jawwad Ridla pada dasarnya mengandung “potensi-potensi” perekat di antara pemikiran para ahli pendidikan Islam.[1] Bahkan, Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany mengharuskan penentuan filsafat pendidikan Islam bagi sistem pendidikan agar pendidikan Islam memberikan corak yang khas sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai keislaman berdasarkan konteks kebudayaan yang berlaku di kalangan umat Islam.[2] Konstruksi sistem pendidikan yang melandasi praktik pendidikan Islam mau tidak mau harus ditopang oleh orisinalitas nilai-nilai ajaran yang bersumber dari “rahim” Islam itu sendiri. Bagi Al-Toumy, selain Al-Qur’an al-Karim yang menjadi sumber utama Filsafat Pendidikan Islam, juga terdapat sumber pendukung lain yang tidak kalah penting, seperti teori-teori yang diterima akal, nilai dan tradisi sosial, hasil penelitian dan kajian-kajian pendidikan, dan norma serta perundang-undangan yang berlaku baik di tingkat lokal, Nasional, maupun internasional.[3] Dengan begitu, pendidikan Islam mampu mengantarkan peserta didik menjadi manusia yang berkepribadian luhur (tujuan individu), berguna bagi masyarakat (tujuan sosial), dan kapabel sesuai dengan kapasitas keilmuannya (tujuan profesional).[4] Baca Selengkapnya …

DUA KHATIB; SATU KHUTBAH


DUA KHATIB; SATU KHUTBAH

Oleh: Ahmad Saefudin

Pada awal tahun baru 2014 ini, penulis terhenyak saat menunaikan Shalat Jumat di Masjid UIN Sunan Kalijaga. Tidak disangka, pemangku otoritas kampus membuat kebijakan progresif dengan menempatkan dua khatib dalam satu khutbah. Khatib pertama, sebagaimana biasanya, berada di mimbar khutbah utama yang menyampaikan materi khutbah tentang “hak beribadah bagi difabel”.  Khatib ke dua di mimbar lain, menyampaikan topik yang sama. Bedanya, khatib pertama menggunakan bahasa oral, sedangkan khatib kedua memakai bahasa isyarat dengan tujuan memfasilitasi jamaah Shalat Jumat yang kebetulan “tuna rungu” agar tetap memahami materi khutbah. Mereka yang biasanya hanya mampu melihat komat-kamit mulut Sang Khatib, kini bisa bernapas lega karena sedikit banyak terbantu oleh kehadiran khatib kedua.

Sepanjang sejarah Islam di Indonesia, mungkin praktik Shalat Jumat dengan dua khatib ini tergolong baru. Khazanah kitab klasik (baca: kitab kuning) belum menjangkau diskursus tentang fenomena ini. Fukaha’ kontemporer semestinya menindaklanjuti dengan penggalian istinbat hukum agar peristiwa semacam ini memicu perkembangan dialektika pemikiran Islam yang selama ini dianggap sebagian kalangan mengalami stagnasi.

Alasan rukhsah (kemurahan hukum) bagi kaum difabel untuk menunaikan ibadah (dalam kasus ini) Shalat Jumat, ternyata bukan halangan bagi kita untuk memberikan hak-hak mereka sebagai sesama Muslim, meskipun secara sepintas, penempatan dua khatib ini melanggar kemapanan hukum Islam yang telah mengakar kuat di masyarakat. Apresiasi tinggi patut kita berikan kepada UIN Sunan Kalijaga yang telah mempelopori “dua khatib; satu khutbah” dalam pelaksanaan Shalat Jumat. Ide-ide segar seperti inilah yang akan melambungkan peradaban Islam di pentas dunia. Wallahu a’lamu bi al-shawab. []