PENDIDIKAN DEMOKRASI; MEMBENDUNG FUNDAMENTALISME, MENYEMAI PLURALISME
(Review Buku “Renungan Santri; dari Jihad hingga Kritik Wacana Agama” Karya Rumadi)
Oleh: Ahmad Saefudin
Membaca karya Rumadi Renungan Santri; dari Jihad hingga Kritik Wacana Agama laksana “menguliti” agama (baca: Islam) menggunakan pisau analisis multiperspektif yang akan mengantarkan pembaca –terutama Aktivis Pluralis dan Fundamentalis- kepada babak pemahaman baru tentang pandangan “santri” terhadap “fundamentalisme”. Pemaknaan “santri” dalam buku ini bukan lanjutan dari pemikiran Clifford Geertz yang menimbulkan polemik di kalangan cendekiawan Muslim Indonesia sebab memaksakan terminologi “santri” sebagai sintesis antara “priyayi” dan “abangan”. Juga bukan produk pemikiran yang berorientasi memetakan gerakan Santri Baru (Nur Khalik Ridwan, 2004) berdasarkan ideologi tertentu sehingga melahirkan varian fenomena kelompok “Santri Baru”, misalnya “Santri Urban” dari Nahdlatul Ulama (NU), “Santri Baru Muhammadiyah”, “Kelompok Usroh” atau “Santri Baru” dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), “Santri Baru Teroris”, dan “Kelompok Islam Liberal” dari Utan Kayu. Tetapi, istilah “santri” dalam buku ini nampaknya melebur dalam diri penulisnya sebagai legitimasi intelektual dalam melakukan refleksi kritis terhadap pemahaman keagamaan di kalangan umat Islam Indonesia. Bahkan, Rumadi tidak sedikitpun menyinggung istilah “santri” dalam topik pembahasan karyanya ini.
Sebelum melangkah lebih jauh, bagian-bagian yang akan di-review dalam tulisan ini hanya mencakup empat bab pertama dari keseluruhan delapan bab yang disajikan penulis. Selain faktor keterbatasan space, alasan yang lebih esensial ialah relevansi antara topik pembahasan yang ada di dalam buku dengan menjamurnya gejala sosial keagamaan di tengah masyarakat yang secara ideologis berafiliasi dengan “fundamentalisme”.
Pada bagian “Pendahuluan”, Rumadi mencoba mengaitkan “agama” sebagai “doktrin” dengan realitas sosial kontemporer seperti tindak penyelewengan doktrin dan terorisme (hlm. 9). Menurutnya, sebagian Muslim mempercayai bahwa “doktrin Islam” menghasilkan pola perilaku keberagamaan tertentu yang membentuk struktur sosial sebagai imbas dari interpretasi teks agama. Sebagian Muslim yang lain berkeyakinan sebaliknya, bahwa antara “doktrin” dan “perilaku pemeluk agama” merupakan dua entitas yang berbeda. Bagi kelompok ini, penyimpangan perilaku keagamaan merupakan kesalahpahaman penafsiran terhadap “doktrin” atau sengaja “dibelokkan” oleh muatan “kepentingan” dari pemeluknya. Secara simpel, kubu ini biasa berdalih, “doktrin tak pernah salah, yang salah adalah manusia yang meyakini doktrin itu” (hlm. 10). Apologi inilah yang menurut Rumadi dianggap sebagai bentuk perlindungan terhadap ‘kesucian doktrin agama”. Padahal, agama adalah realitas sosial meskipun ia bersumber dari doktrin ilahi. Oleh karena itu, kajian Islamic Studies sangat perlu mendudukkan Islam dalam frame “agama historis” selain juga “agama wahyu”, sehingga “agama” harus rela diperlakukan secara “tidak semestinya”, “semena-mena” dan dikritik (hlm. 11).
Dalam menjelaskan keterkaitan antara agama dan terorisme, salah satu pendekatan yang digunakan oleh Rumadi ialah analisis doktrinal. Pada fase ini, Rumadi tidak menampik bahwa agama dan sistem kepercayaan lainnya mempunyai potensi untuk memunculkan kelompok “fundamentalis”. Di dalam Islam, misalnya terdapat konsep kafir, musyrik, murtad, ahl al-kitab dan lain-lain yang penafsirannya bisa saja menimbulkan “pen-jarak-an” terhadap kelompok lain (hlm. 13). Sebutan-sebutan tendensius tersebut –yang tidak dielaborasi lebih lanjut oleh Rumadi- ketika sudah melibatkan aktor, aktivisme, dan ideologi oleh Gilles Kepel seperti yang dikutip Noorhaidi Hasan (2012, 2) tidak lagi merepresentasikan pure gejala keagamaan, melainkan lebih merupakan fenomena Islam politik, yaitu gejala sosial politik di berbagai belahan dunia yang berkait dengan aktivitas sekelompok individu Muslim yang melakukan gerakan dengan landasan ideologi yang diyakini bersama. Perspektif wacana keislaman dewasa ini, “fundamentalisme” terkadang juga dinamakan dengan “Islamisme” (Masdar Hilmy, 2013) yang merujuk pada segala jenis aktivisme keagamaan yang memanfaatkan Islam baik sebagai simbol maupun substansi dalam perjuangan politik mereka.
Pada bagian II, buku setebal 286 halaman ini oleh penulisnya dimanfaatkan untuk melacak “Akar Teologi Fundamentalisme Islam” (hlm. 24). Dalam konteks sosiologis-teologis, kata fundamentalisme sejatinya tidak datang dari dunia Islam dan tidak ada padanan kata yang tepat untuk mendefinisikannya, baik dalam bahasa Arab, Indonesia, atau bahasa umat Islam lain sebagaimana klaim Rifyal Ka’bah dalam Jurnal Ulumul Qur’an edisi No. 3 vol. IV tahun 1993. Namun, Rumadi mempunyai pandangan yang berbeda tentang “fundamentalisme” dengan mengedepankan unsur substantif daripada normatif. Bagi Pegiat Pluralisme dan Aktivis The Wahid Institute ini, kata “fundamentalisme” bisa diganti dengan kata “apa saja” asalkan mempunyai kesamaan makna (hlm. 31) dengan ciri: 1) Memberi penekanan interpretasi literal terhadap teks-teks suci agama, 2) Setiap gerakan fundamentalisme hampir selalu dapat dihubungkan dengan fanatisme, eksklusifisme, intoleran, radikalisme, dan militanisme, 3) Fundamentalisme hampir selalu memberi penekanan kepada pembersihan agama dari isme-isme modern seperti liberalisme, modernisme, dan humanisme, 4) Fundamentalisme melakukan monopoli kebenaran atas tafsir agama, dan 5) Fundamentalisme menolak pluralisme dan relativisme (hlm. 34). Lebih jauh lagi, Rumadi mengamini kategorisasi Azyumardi Azra yang membagi dua tipologi fundamentalisme, yaitu fundamentalisme pramodern yang diwakili oleh Kaum Khawarij (awal sejarah Islam) dengan keyakinan bahwa hanya kawasan mereka saja yang disebut dar al-Islam yang harus dilindungi, sedangkan kawasan lain adalah dar al-kufr/harb yang harus diperangi dan dihancurkan. Gerakan ini di Semenanjung Arabia dilanjutkan oleh Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (1703-1792) dengan slogan pemurnian Islam dari tahayul, bid’ah, dan khurafat. Sedangkan tipe kedua yaitu fundamentalisme kontemporer yang tercermin oleh gerakan Ikhwan al-Muslimun dengan Hasan al-Banna, Sayyid Qutb dan Abu al-A’la al-Maududi (1906-1965) sebagai ideolognya. Garis perjuangannya tidak lepas dari tujuh prinsip dasar, yakni: 1) Islam adalah ideologi yang komplit bagi individu, negara, dan masyarakat, 2) Al-Qur’an adalah dasar kehidupan kaum Muslim dalam pengertian yang literal, 3) Syariat Islam yang didasarkan pada al-Qur’an-al-Hadis merupakan “cetak biru” bagi kaum Muslim, 4) Keteguhan berpegang pada tujuan Muslim dalam menegakkan kerajaan Allah melalui penerapan hukum Allah akan membawa keberhasilan, kekuasaan, dan kesejahteraan bagi masyarakat Islam, 5) Kelemahan dan perbudakan yang dialami masyarakat Muslim bersumber dari ketiadaan iman kaum Muslim, mengikuti jalan sekuler, ideologi materialistik, dan nilai-nilai yang datang dari Barat, 6) Untuk menumbuhkan kembali harga diri, kekuatan, dan kekuasaan kaum Muslim, maka umat Islam harus kembali kepada Islam, menaati hukum Allah dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, dan 7) Ilmu dan teknologi harus diperkuat dan dipergunakan dalam rangka menguatkan Islam untuk menghindari proses westernisasi dan sekularisasi (hlm. 44). Sayangnya, pada bagian ini Rumadi tidak secara detail merinci gerakan “Fundamentalisme Islam” dari segi genealogi, ideologi, dan sosiologi untuk kemudian dianalisis dan diteorisasikan secara kritis. Untuk melengkapi basis teoritik, ada baiknya kita merefer pada buku Islam Politik di Dunia Kontemporer; Konsep, Genealogi, dan Teori (Noorhaidi Hasan, Ibid.).
Pada bagian III, Rumadi menanyakan konsep “Jihad”: Mengapa jadi “Hantu” Islam? (hlm. 75). Ia mengurai makna “jihad” secara etimologis yang diambil dari kata jahada yang berarti “mengerahkan upaya”, berusaha dengan sungguh-sungguh, dan “berjuang keras”. Kemudian ia menyimpulkan:
“Dalam makna yang luas, kata ini (jihad) sering digunakan untuk melukiskan sebuah usaha maksimal untuk melawan sesuatu yang dianggap keliru. Namun, dalam pengertian yang lebih teknis, kata ini digunakan untuk menunjuk pada upaya untuk memerangi dan melawan segala hal yang dianggap mengancam Islam. Oleh karena itu, dalam sejarah umat Islam sejak masa awal, jihad sering digunakan untuk melegitimasi perjuangan atas nama agama.” (Rumadi, 2009, hlm. 76).
Sekali lagi, Rumadi mengajak pembaca untuk tidak bersikap hipokrit dan legowo menerima kenyataan bahwa “agama” juga sedikit banyak memberikan andil dalam menyemai benih-benih kekerasan. Argumentasinya diperkuat lagi dengan menunjukkan sinonim kata “jihad” dengan “qatala” (bertempur; saling membunuh). Meskipun para fuqaha’ kemudian menginterpretasikan makna “jihad” yang harus dipahami dalam pengertian moral dan spiritual, bukan semata dalam bingkai paradigma militeristik, tetapi, mainstream-nya –terutama dari sudut pandang Barat pasca “tragedi 11 September”- tetap dalam pengertian “perang” (hlm. 77-79). Mengapa kesan negatif terhadap Islam di mata Barat enggan sirna? Menurut Rumadi, jawabannya berakar dari faktor historis ketegangan hubungan antara Islam-Barat yang pernah diwarnai dengan peperangan dan saling ekspansi (hlm. 82). Orang Kristen mengusung misi Holy War (Perang suci) seperti juga orang Islam mengibarkan bendera Jihad yang keduanya, -bagi Rumadi- sama-sama merupakan “legitimasi religius atas perbuatan perang” (hlm. 85). Jadi, radikalisme pemikiran yang membuahkan aksi-aksi teror akan hilang dari dunia ini manakala setiap “agama” dan sistem kepercayaan lainnya berhasil menggiring opini umatnya untuk mengubur dalam-dalam setiap “konsepsi religius” yang bisa menyulut “api konflik dan peperangan”. Secara teknis, solusi yang ditawarkan oleh Rumadi untuk “Membendung Fundamentalisme, Menyemai Pluralisme” tertuang dalam bagian IV buku yang diterbitkan oleh Erlangga ini (hlm. 112). Untuk merespons isu-isu tak sedap seputar kehidupan keagamaan seperti formalisasi syariat Islam, fundamentalisme dan terorisme, kekerasan dan main hakim sendiri, politisasi agama, sikap saling curiga dan tidak mau saling percaya antarpemeluk agama, dan berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan, Rumadi bekerjasama dengan Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai almamaternya dan The Asia Foundation menggagas program “Pendidikan Demokrasi” dengan melibatkan dai/khatib di sekitar wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok serta guru Madrasah Aliyah (MA) di lingkungan pesantren. Salah satu alasan pemilihan segmentasi ini karena mereka dianggap sebagai komunitas penjaga ortodoksi Islam garda depan dan dianggap strategis untuk menyebarkan gagasan dan pesan keagamaan.
Setidaknya, Rumadi telah memberikan inspirasi dan teladan bagi kita untuk segera melakukan aksi-aksi nyata berikutnya. Sebuah “pekerjaan rumah” yang tidak mudah, tetapi juga bukan mustahil dilakukan dengan syarat semua elemen–dari hulu (pemerintah, elit organisasi keagamaan dan kemasyarakatan) sampai hilir (masyarakat secara umum)- mau duduk bersama dan saling berkolaborasi aktif “membunuh bias-bias ketidaksepahaman” yang bermuara dari doktrin dan perilaku keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Primer
Rumadi, Renungan Santri; dari Jihad hingga Kritik Wacana Agama, cet. ke-4, Yogyakarta: Erlangga, 2009.
Referensi Sekunder
Hasan, Noorhaidi, Islam Politik di Dunia Kontemporer; konsep, Genealogi, dan Teori, cet. ke-1, Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga, 2012.
Hilmy, Masdar, Teologi Perlawanan; Islamisme dan Diskursus Demokrasi di Indonesia Pasca-Orde Baru, cet. ke-5, Yogyakarta: Kanisius, 2013.
Ridwan, Nur Khalik, Santri Baru; Pemetaan, Wacana Ideologi, dan Kritik, cet. ke-1, Yogyakarta: Gerigi Pustaka, 2004.