IMLEK; WARISAN GUS DUR; KEJAYAAN NUSANTARA


IMLEK; WARISAN GUS DUR; KEJAYAAN NUSANTARA

Oleh: Ahmad Saefudin

 

Gempita perayaan imlek pascareformasi kian kentara. Tidak saja warga Tionghoa yang memadati klenteng dan wihara untuk memanjatkan doa. Umat agama lain pun seringkali mendekati pusat-pusat perayaan, bahkan rela antre hanya untuk mendapatkan seselip angpau. Inikah potret keberhasilan para pejuang “pluralisme” di negeri ini, sehingga tidak ada lagi sekat yang membatasi interaksi sosial antar umat beragama? Ataukah fenomena ini harus dipandang dalam bingkai “prasangka” motif dan kepentingan yang pada akhirnya menyembulkan resistensi?

Setelah kepemimpinan Gus Dur, warga Tionghoa bernapas lega dengan diakuinya Konghucu sebagai agama resmi di Indonesia. Masa kelam pembonsaian ajaran agama bagi etnis China selama masa orde baru telah usai. Tarian lincah barongsai, wangi dupa, gemerlap kembang api, dan simbol-simbol penanda kemeriahan hari raya imlek pun bisa dinikmati oleh khalayak luas tanpa selubung ketakutan. Semangat kebinekaan kian subur di Bumi Pertiwi, meskipun tidak dipungkiri terkadang masih nyaring terdengar nyanyian sumbang bernada provokatif yang mengancam disintegrasi bangsa oleh kalangan tertentu. Tepatnya oleh sekelompok kecil golongan yang berlindung di balik “topeng” agama mayoritas. Seolah-olah, agama mereka mampu menjawab setiap detail problem kebangsaan di tengah kehidupan masyarakat yang mejemuk. Padahal, perdebatan dasar Negara telah diselesaikan secara arif oleh sosok-sosok cerdas yang tergabung dalam panitia persiapan kemerdekaan -kemudian dikenal dengan istilah “Panitia Sembilan”- yang melahirkan Pancasila sebagai ideologi Negara yang bersifat final. Bukankah sayap “Burung Garuda” mampu mengepak setelah ditebus dengan lautan darah dan pengorbanan? Haruskah kembali ditumbangkan dengan lautan darah dan pengorbanan pula?

Sudah bukan zamannya lagi berpolemik tentang dasar Negara. Lebih bermanfaat jika pikiran waras kita mulai dicurahkan untuk mengembalikan kejayaan Nusantara lama. Nusantara yang menyejahterakan penduduknya. Nusantara yang kokoh dalam selimut perbedaan. Nusantara yang menjadi kiblat dunia.[]

Kotagede, Yogyakarta, 1 Pebruari 2014

Tinggalkan komentar