NASIHAT BAPAK


NASIHAT BAPAK

Oleh: Ahmad Saefudin

Hidup itu misteri. Sama seperti mati. Kemarin masih bergelimang harta. Sekarang menderita. Esok yang tahu siapa. Lusa juga begitu adanya. Kemarin memegang cangkul sebagai senjata. Bercucur keringat melawan terik. Kini berbekal pena. Bekerja di balik kursi. Berdasi rapi. Esok tersangka korupsi. Lusa masuk bui. Kemarin masih tertawa di depan televisi. Wawancara seputar kampanye dan janji-janji. Mengulas strategi. Menduduki jabatan suci. Pemangku negeri. Kini pesta demokrasi. hiruk pikuk survei menjadi-jadi. Menempatkan sang calon dalam urutan tertinggi. Besok ternyata tidak jadi. Tetap tak tahu malu di depan televisi. Mengincar posisi menteri. Melebur dalam koalisi.

Tahukah kawan? Apa yang tidak berubah? Bapakku. Yah! Bapakku! Meskipun rezim silih berganti. Bapakku masih saja bertani. Berangkat pagi. Sawah ladang disiangi. Berharap kepada serumpun padi. Murah mahal tidak jadi soal. Bapakku terus saja menanam. Menanam dan menanam lagi. Hingga pulang di sore hari.

Menunggu senja Bapakku selalu menyempatkan diri. Menonton televisi. Berteman secangkir kopi. Melihat tingkah polah elit di Jakarta sana. Politisi rebutan kursi. Entah paham atau tidak, Bapakku melayang pandang. Matanya menerawang. Ternyata, politisi yang dianggapnya kyai, juga tersandung skandal korupsi. Korupsi dana haji. Kendati kaget setengah mati. Esoknya Bapakku tetap bertani. Berangkat pagi. Sawah ladang disiangi. Berharap kepada serumpun padi. Murah mahal tidak jadi soal. Bapakku terus saja menanam. Menanam dan menanam lagi. Hingga pulang di sore hari.

Suatu malam, di depan televisi yang belum mati, Bapakku menasihati, “Nak! Kalau tidak mau dibui karena korupsi, jadilah petani. Jangan jadi politisi.” Anak yang berbakti, tidak berani bertanya lagi. Hanya bisa mengamini. Bapakku bicara lagi, “Tapi bukan petani seperti Bapak! Berangkat pagi, pulang sore hari, tetap saja begini. Kuliah yang tinggi. Bukan untuk jadi apa-apa. Cukup jadi manusia yang berhati. Kalaupun jadi politisi, jangan sampai korupsi! Biar setiap sore, kuburan Bapak kelak tidak pernah sepi. Selalu Kamu ziarahi.”

Yogyakarta, 24 Mei 2014

Dari Anak seorang Petani!

PROBLEMATIKA SERTIFIKASI GURU


PROBLEMATIKA SERTIFIKASI GURU

Oleh: Ahmad Saefudin*

Profesi guru sebagai pekerjaan mulia tidak terbantahkan. Dari sudut pandang teologis, terma guru senada dengan al-murabbi, al-mu’allim, al-muadib, al-rasikhun fi al-‘ilmi, ulul albab dan masih banyak lagi istilah lain yang seluruhnya menunjukkan nilai keluhuran. Berkat keteladanan yang terpancar melalui laku keseharian, masyarakat menempatkan guru ke dalam strata sosial yang cukup prestise, bahkan cenderung tinggi. Apalagi, pasca berlakunya program sertifikasi, memungkinkan guru untuk hidup lebih sejahtera secara ekonomi. Tidak aneh, jika kita melihat fenomena perubahan gaya hidup guru.

Citra guru, pada satu sisi tergambar dalam nyanyian Oemar Bakrie; yang berangkat ke sekolah penuh semangat dengan modal sepeda butut. Di sisi lain, guru dilukiskan oleh “Keluarga Bakrie” lainnya; yang berlimpah harta dan kaya raya. Ihwal ini mengindikasikan bahwa sertifikasi guru justru menimbulkan diskriminasi baru antara guru yang sudah dengan yang belum bersertifikat. Padahal, belum ada jaminan pasti, jika guru yang telah mendapatkan sertifikat profesi, secara kualitatif lebih baik dari guru yang belum bersertifikat. Hakikatnya, sertifikat hanyalah bentuk formalitas simbolik untuk merepresentasikan guru profesional, sedangkan substansi profesionalisme terletak pada kompetensi.

Sertifikasi juga menjadi lahan baru perilaku koruptif, karena pada praktiknya kerap terjadi bentuk-bentuk penyelewengan seperti pungutan liar, suap, dan rekayasa data, baik dilakukan oleh oknum guru maupun birokrat pemerintah. Perbuatan cela ini terbungkus rapi dalam sistem yang sedemikian rumit, sehingga sulit untuk sekedar menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar, alih-alih menjeratnya ke muka hukum agar diadili.

Belum lagi, dampak dari penambahan tunjangan materiil terhadap guru bersertifikat, belum tentu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas kinerja. Lebih-lebih, bagi guru swasta. Sebelum mendapatkan tunjangan profesi, guru swasta sangat disiplin dan menjadi sosok guru pekerja keras. Masuk kelas tepat waktu dan tidak pernah mengeluh dengan beban kerja yang padat. Karena, semakin banyak kuota waktu untuk mengajar, maka semakin tinggi penghasilan yang diperoleh. Sudah sangat mafhum, ketika honor guru swasta dihitung berdasarkan jam tatap muka di ruang kelas. Namun, setelah mendapatkan tunjangan profesi, kerja keras dan kedisiplinan guru swasta cenderung menurun –jika tidak patut dikatakan hilang-. Mungkin karena kebutuhan materiil telah tercukupi tanpa harus menempuh beban jam pembelajaran yang terlalu banyak.

Selain itu, tunjangan profesi terkadang hanya digunakan oleh guru untuk meningkatkan status sosial di masyarakat seperti membeli mobil, hand phone keluaran baru yang mahal, umrah, atau haji berkali-kali. Sementara, kompetensi keahlian yang seharusnya mendapatkan porsi dan perhatian lebih sama sekali terlupakan, misalnya dengan cara menambah koleksi buku referensi dan pegangan wajib, mematangkan skill melalui forum-forum seminar dan pelatihan, dan selalu bereksperimen menemukan metode-metode pembelajaran yang variatif dengan bantuan media pembelajaran.
Pembenahan sistematik-komprehensif mutlak dilakukan oleh pemerintah sebagai pemangku kebijakan, supaya program sertifikasi guru tidak salah sasaran.

*Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

CORETAN KENANGAN


CORETAN KENANGAN

Oleh: Ahmad Saefudin

 

Akhirnya, Ku bisa mulai menulis lagi. Tulisan mahasiswa pascasarjana pra perkuliahan. Tahun 2013 ini, begitu banyak peristiwa yang ku lalui. Setelah tiga tahun melepas baju mahasiswa, Tuhan pun mengizinkanku untuk memakainya lagi. Perantauanku berlanjut dari “Bumi Kartini” Jepara ke “Kota Pendidikan” Yogyakarta. Dari pesisir Pantai Utara (pantura) ke pesisir Pantai Selatan.

Jepara tidak akan terlupa. Di sana, balutan kisah perjalanan hidup terbungkus rapi. Terbawa lekat sampai nafas ini lepas dari jiwa. Di sana pula, sahabat-sahabat terbaikku berada. Masih terngiang jelas dalam benak. Sehari sebelum pergi, mereka menyiapkan acara sederhana sebagai bukti dari rekatan kuat tali persahabatan. Tumpahan kesan dan pesan terakhir  dari mereka terhadap diriku, silih berganti menemani pertemuan sore itu di Pantai Mpu Rancak, Mlonggo Jepara. Suasana akrab nan hangat. Canda, tawa, dan linangan air mata. Bercampur aduk dengan mesra. Hingga purnama tiba. Gelombang laut ikut menyahut, menyaksikan kisah perpisahanku dengan mereka. Hingga akhirnya ku berucap, “Sampai jumpa kawan! Kalian selalu kurindu!”

Jepara sudah menjadi bagian dari masa laluku. Kini, Yogyakarta penggantinya. Tantangan baru menghadang. Seperti biasa, akan kuterjang lantang. Bersama dengan semangat sahabat-sahabat yang kutinggalkan. Kita akan bertemu lagi kawan!

 

Nb. Catatan awal dariku di Pintu Masuk Masjid Laboratorium UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 24 Agustus 2013. Pukul 18.47 WIB

 

SANG “DEWA PENOLONG” ITU SEORANG NASRANI


SANG DEWA PENOLONG ITU SEORANG NASRANI
Oleh: Ahmad Saefudin

Suatu hari, saya dan beberapa teman yang sudah berpredikat “ustadz” –karena mereka mengampu materi pembelajaran di salah satu pesantren- berencana menggelar pertemuan yang pada intinya akan membahas kemaslahatan kelembagaan. Secara kebetulan, tempat yang dipilih sebagai pelaksanaan terletak jauh dari lingkungan pesantren, yakni di daerah pesisir pantai –sekaligus itung-itung refresh-.

Pengalaman menarik justru datang saat pemberangkatan menuju lokasi. Dengan bersepeda motor, kita berangkat rame-rame. Ada yang sendirian, juga tidak sedikit yang berboncengan. Awal kisah, sebagai substansi dari apa yang akan menjadi topik pembicaraan saya, bermula dari kejadian naas yang menimpa salah satu dari rombongan. Teman saya mengalami kecelakaan sebab human error. Perjalanan harus terhenti sejenak untuk memberikan pertolongan kepadanya. Ternyata, luka yang diderita cukup parah sehingga dia harus segera dipulangkan untuk mendapatkan perawatan.

Karena Tempat Kejadian Perkara (TKP) berada di kampung sebelah, kita pun bingung, bagaimana dia bisa pulang, sementara efek dari luka itu memaksanya tidak kuat membonceng. Apalagi mengendarai motor sendiri. Kebingungan kita terjawab setelah ada “Dewa Penolong” yang mau dengan tulus berkorban. “Dewa Penolong” itu telah sudi menggadaikan waktunya yang sangat berharga. Padahal ketika itu, dia sedang menyelesaikan pekerjaan sebagai “tukang kayu” di rumahnya. Pengorbanannya bertambah dengan meminjamkan mobil yang dalam kesehariannya digunakan untuk mendistribusikan “kayu” hasil pekerjaannya. Artinya, untuk sementara, dia merelakan barang dagangannya tidak sampai ke tangan pembeli. Sikap “belas kasih”nya semakin kentara, karena dari hati yang paling dalam, dia menawarkan diri sebagai “sopir” yang akan mengantarkan shohibul musibah –yang tidak lain adalah teman saya yang ustadz itu- sampai rumah. Saya berperan sebagai penunjuk jalan. Tidak lebih. Supaya tidak tersesat.

Setelah tiba di rumah, orang tua dari shohibul musibah menitipkan uang kepada saya untuk diberikan kepada Sang Dewa Penolong sebagai isyarat balas budi. Namun, dengan bahasa yang sangat sopan, dia berkali-kali menolak. “Bukan apa-apa,” katanya, “Saya menolong karena panggilan kemanusiaan.” Mendengar alasan humanis tadi, saya pun berhenti memaksa dan mengembalikan uang titipan itu kepada yang berhak. Sambil berlalu, saya hanya bisa berucap terima kasih atas kebaikannya. Baca Selengkapnya …

DI BALIK BUKU “ANAK SEMUA BANGSA”; MAHA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER


DI BALIK BUKU “ANAK SEMUA BANGSA”; MAHA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

Oleh: Ahmad Saefudin

 

Sampai halaman 112. Mataku memicing lelah dan tiada henti mengatup. Mulut pun bersepakat menguap. Memerintahkan tangan yang bertindak refleks, meskipun sebenarnya enggan untuk menutup auman. Detak jarum jam yang menggantung di sebelah lukisan pemain sepak bola favoritku, -Cristiano Ronaldo-, tepat menunjukkan angka dua. Tiga jam. Yah! Sudah tiga jam. Kusibak lembaran “Anak Semua Bangsa” dari Pramoedya Ananta Toer. Dan diharuskan berhenti di halaman 112.

Curahan anganku mencoba menelusur baris demi baris yang terlewat. Goresan pena dari Sang Begawan Sastra itu bak mutiara, yang tak pernah kuperoleh di mana pun. Di pesantren. Di kampus. Di organisasi kemahasiswaan. Dari wejangan kyai. Ceramah ilmiah dosen. Tak pernah kuperoleh. Entah dengan kalian! Yang pernah nyantri dan menjadi mahasiswa. Apakah juga akan berpendapat sama dan mengamini komentarku.Anak Semua Bangsa

Sedikit akan kuceritakan, pengalamanku membaca “Anak Semua Bangsa”.

Tentang “cinta”, Pramoedya mengingatkan kepada setiap manusia yang sedang dilanda perasaan yang satu ini di halaman 2, “Dan bayang-bayang cinta itu bernama derita”. Cinta dan derita bagai sekeping simbol mata uang yang tidak bisa terpisah dan dipisahkan. Karena jika terpisah, kepingan “cinta” tiada bernilai lagi. Berani men”cinta” harus berani “menderita”.

“kemuliaan” juga tak luput dari kacamata Pram. “Kemuliaan” terasa aneh –bagi Pram- jika dilahirkan di atas kesengsaraan yang lain (Pramoedya, 57). Tidak patut bagi kita, mendamba kemuliaan dengan segala cara. Apalagi harus digadaikan dengan “kesengsaraan” manusia lain. Peringatan keras bagi kita. Pemerintah kita. Politisi kita. Penegak Hukum kita. Kyai kita. Akademisi kita. Budayawan kita. Saintis kita. Guru kita. Murid kita. Siapapun kita.

Dalam kalimat yang agak panjang, Pram berpendapat tentang dunia pendidikan, “Memalukan. Bukan itu saja. Sesungguhnya aku menjadi geram karena kesadaran yang tak berdaya. Semakin lama aku semakin bingung dengan riuhnya pikiran dan pendapat begitu banyak orang. Sekolahan tetap yang paling sederhana. Orang hanya mendengarkan dan percaya tak bercadang pada beberapa orang guru. Dan angka terbaik diberkatkan pada setiap murid yang jadi sebagaimana dikehendaki guru-gurunya.” Memang! Kita sering terombang-ambing oleh begitu banyak pendapat yang semuanya menyatakan “kebenaran”. Dan ketidakberdayaan melingkupi kesadaran kita. Bingung. Harus memilih “kebenaran” yang mana. Sebagai orang awam, kita sering menyandarkan “kebenaran” melalui sabda para guru. Apa yang dikatakan guru kita, itulah yang kita anut karena tidak mungkin salah. Dan guru pun semakin memuncak kewibawaannya, saat tidak ada satu kata pun yang diingkari murid-muridnya. Padahal, “kebenaran” yang datang dari pikiran manusia, bersifat nisbi, dinamis, dan bisa berubah ketika ada “kebenaran” baru yang datang. Guru pun bisa salah. Dan itu lumrah. Bukan sesuatu yang luar biasa, ketika guru kita salah. Salah itu wajar. Yang tidak wajar ialah menyembunyikan kebenaran. Baca lebih lanjut …

REFLEKSI PERILAKU KEBERAGAMAAN KADER PMII


REFLEKSI PERILAKU KEBERAGAMAAN

KADER PMII

Oleh: Ahmad Saefudin[1]

 

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Menguak tema “keberagamaan” dalam tubuh organisasi mahasiswa Islam, sungguh bukan perkara mudah. Apalagi jika konklusi yang nanti tertelurkan menjadi refleksi kolektif sebagai gambaran umum yang kini terjadi. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) secara definitif membawa embel-embel Islam dalam wajah organisasi. Islamnya pun jelas, karena secara spesifik (tertuang dalam AD/ART) berhaluan ahlu as sunnah wal jamaah sebagai manhaj al fikr. Kemudian timbul pertanyaan besar; mengapa repot-repot membuang energi untuk merefleksikan keberagamaan (baca: keislaman) kita? Apakah PMII tersandung masalah dengan perilaku keberagamaan kader-kadernya sehingga perlu proses re(de)konstruksi? Apakah Gus Dur dengan pluralismenya, Asghar Ali Engineer dengan teologi pembebasannya, dan Hasan Hanafi dengan paradigma kritisnya belum cukup  (kalau tidak ingin menyebut pantas) dijadikan acuan gerak keberagamaan kita?

Tidak terpungkiri, tak sedikit kader PMII yang fasih berretorika tentang “agama”, tetapi seolah berhenti pada tataran kognisi tanpa manifestasi laku. Contoh kasus yang sering terjadi di PMII Jepara, ketika semalaman suntuk kita mengkaji manfaat sholat dari berbagai perspektif (psikologis, fisiologis, dan al-Qur’an), justru subuh kita berlalu begitu saja akibat kalah dengan mentari saat bangun pagi. Mengapa bisa terjadi? kasus lain, kita sering mengkritisi teks kitab kuning seperti uqud al-ijayn yang dianggap bias jender dan prakteknya sudah tidak relevan lagi dalam konteks Indonesia, namun (ketika kita dipaksa) membedakan mana yang fi’il  (kata benda) dan mana yang isim (kata benda) saja kita kelabakan. Ironis bukan?

 Untuk menelisik lebih detail, maka penulis mengangkat tema “Refleksi Perilaku Keberagamaan kader PMII”. Baca lebih lanjut …

ASA PEDAGANG LAPAK SEDERHANA


ASA PEDAGANG LAPAK SEDERHANA*

Guratan kulit kasarnya simbol resistensi terhadap pengaruh kapitalisme global. Lapak sederhana menjadi tumpuan ekonomi bagi keluarga. Kilatan mata tajamnya kian menurun, namun tak sedikit pun menyurutkan etos kerja. Menemani gemerlap bintang yang setia menanti “kokok ayam” di fajar yang petang. Menyapa seberkas sinar yang kemudian berbias membawa aroma kehidupan di bumi Tuhan ini.

Pelanggan setia sudah menanti hasil olahan rutin, bakwan panas. Pengalaman kemandirian mengajarkan pantang berkeluh kesah. Keikhlasan senyum membuat lapaknya tak pernah sepi. Terutama bagi manusia berkantong tipis macam aku. mahasiswa pengangguran.

“Mbok! Mie goreng pedas!” pintaku sambil memegang perut yang entah sudah dari kapan tidak mengakrabi nasi.

“Tolong! Kasih kuah sedikit!”

“Gorengannya habis ya Mbok?” Lanjutku.

“Iya, Kak! Tadi sudah dipesan sama Ibunya Pak RT untuk ngaji selapanan,” jawab Mbok Ton ramah. Padahal kalau pun masih tersisa, belum tentu Aku membelinya. “Irit!” kenang orang tuaku kala menasehati anak-anaknya yang hidup di rantau orang. Baca lebih lanjut …

PERTANYAAN PENGGANGGU?


PERTANYAAN PENGGANGGU?

Oleh: Ahmad Saefudin

Tintaku semakin habis. Lembar demi lembar kisah tertoreh. Tetap saja petanyaanmu itu menohok sampai ke ulu hati. Impian yang masih sekedar mimpi, di tengah gulita malam menyeramkan. Mimpi itu terus menambat, menjulang tinggi mengejek angkasa. Mempermainkan awan.

Tidak lama lagi, tulisan-tulisanku akan menghiasai ruang-ruang intelektual. Menemani para mahasiswa yang sedang mencocokkan teori-teori ilmiah. Dibawa ke mana-mana oleh para kandidat Doktor yang tengah berjibaku menemukan postulat-postulat baru. Terpampang gagah di media cetak lokal maupun nasional. Rujukan bagi para pembelajar yang haus pengetahuan. Tertata rapi pada rak dan lemari si “kutu buku”. Tambahan koleksi “Taman Baca Masyarakat” seantero tanah air. Mendapat apresiasi dari para kritikus nasional, bahkan internasional. Semua adalah gagasanku. Tulisanku. Dan karyaku.

Setiap terbayang pertanyaan polos darimu, selalu saja impian yang terus meninggi itu terancam sirna terseret tsunami.  Memporakporandakan bangunan cita yang sekian lama bertaut.  Begitu Aku melihat tulisan sejawat yang terbit, ada iri bercampur motivasi. Perasaanku berontak, mengapa akal belum bekerja maksimal? Membimbing hati menerobos celah kesunyian ilmu. Sehingga jemari tak kaku menyentuh tuts “keyboard”. Mengalirkan kata, kalimat, paragraf, mendeskripsikan dengan indah, menarasikan dengan logis, menganalisis setiap argumentasi yang muncul, menemukan sintesis dari setiap dialektika yang diperdebatkan oleh para teorisi. Dan menarik konklusi realistis.

Bukan hanya pertanyaan polos itu yang mengganggu dan seolah mendekati kebenaran. Daya bacaku menurun. Setiap hari tidak lebih dari 1,5 jam. Masih kalah jauh dengan kompetitorku. Meskipun usianya belia, namun, kuantitas berinteraksi dengan referensi setidaknya selalu di atasku. Lebih dari 1,5 jam per hari. Koleksi buku yang berderet di lemariku masih bisa dihitung dengan jari dan itu pun belum semuanya terbaca. Masih banyak yang harus Kukejar. Minat disiplin ilmu juga belum terkonsentrasi. Meskipun alumnus Fakultas Pendidikan Islam, terkesan gagap dalam menyikapi realita pendidikan Islam di lapangan. Forum pemantik pengetahuan seperti diskusi dan pelatihan semakin jarang kuikuti. Semuanya terlewatkan. Alasan rutinitas sebenarnya apologi sebagai penghibur hatiku yang belum mau menerima kenyataan ini. Memang, kegemaranku sampai saat ini hanya mengutip pendapat mereka yang lebih dulu berkarya. Tapi, justru itulah yang kemudian memunculkan pertanyaan “pengganggu itu”. “Gemar sekali menulis kata-kata dari buku, kalau karangan sendiri jarang?”, katamu polos.

Ku tak bisa menggerutu. Berbenah. Bukan untuk menjawab, tapi membuktikan. Dan Aku pun tersadar dari lamunan dan mimpi-mimpiku. Terima kasih membangunkanku. Ternyata, tekad saja belum cukup, perlu kerja keras. I am coming my dream!

MEMBONGKAR ASWAJA PERSPEKTIF HISTORIS



Oleh: Ahmad Saefudin

Di Pesawat Saat Pulang Kongres PMII dari Banjarmasin Tahun 2012
Di Pesawat Saat Pulang Kongres PMII dari Banjarmasin Tahun 2012
IDEOLOGI DAN PERUBAHAN
Islam harus dipahami dalam kerangka kondisi kehidupan yang baru, dan kegagalan menyesuaikan diri dengan perubahan akan mengakibatkan kemunduran. Analisis Ziauddin Sardar ini memancing penulis untuk mengelaborasi tautan makna di balik klausa sederhana, Islam;Kehidupan Baru;Menyesuaikan diri dengan perubahan;Kemunduran. Bukan tanpa sebab, Sardar tentu mempunyai argumentasi kuat sehingga berani mengharuskan Islam agar dipahami (oleh kaum muslim maupun non-muslim) secara kontekstual selaras dengan dinamika perkembangan kehidupan, dan tanpa segan menjamin, -jika hal ini gagal- kemunduran dunia Islam.

Sardar tidak sendirian. M. Su’ud juga memberikan implikasi bahwa ketika tatanan nilai dan paradigma lama sudah kehilangan daya pikat dan disertai dengan memudarnya daya panggil terhadap tuntutan realitas hidup sebuah masyarakat, maka pencarian terhadap tatanan nilai dan paradigma yang baru yang bisa menjawab (usefull), akan terus menggelinding. Sejatinya, masih menurut M. Su’ud, kehancuran peradaban sebuah bangsa atau Negara sedang dimulai saat status quo terus membangun benteng prinsip dan nilai-nilai usang;ia bersiap menjadi bangsa atau Negara yang terjajah.
Namun, manifestasi perubahan meniscayakan pengerahan sumber daya pengetahuan teoritis yang diteruskan dalam langkah praksis dan tidak jarang membentur tembok bangunan lama berupa nilai-nilai kemapanan berbasis budaya, kuasa, dan agama. Keruntuhan kemapanan pun tidak akan serta merta menghindarkan Actor of Change dari cibiran, cacian, dan sterotip yang lahir dari sisa-sisa pemegang otoritas yang enggan menanggalkan dominasi kuasa. Tanpa ideologi , mustahil bagi Actor of Change bertahan dalam lingkaran sistem yang menindas, rakus, dan eksploitatif.
Mengurai kajian ideologi dalam Islam, penulis sangat terbantu oleh karya Sarbini, Islam di Tepian Revolusi;Ideologi Pemikiran dan Gerakan yang menjelaskan:
Dalam Islam, sebagaimana tradisi-tradisi relijius dunia lainnya, ada kecenderungan historis kepada objektifikasi, yang menjadikan agama sebagai sebuah entitas tersendiri di antara aspek-aspek lain dalam kehidupan sosial dan personal. Akibatnya, kepercayaan dan praktek keagamaan begitu sentral bagi visi koheren tentang dunia…. Kecenderungan doktrin keagamaan pun menjadi sulit dipisahkan dari ideologi, cara, atau isi pemikiran yang dianggap sebagai karakteristik individu, kelas, atau partai politik.

Penentuan doktrin “paling Islam” inilah yang menjadi polemik dan perdebatan panjang di kalangan intelektual muslim sehingga memunculkan istilah baru yang dikenal dengan teologi atau ilmu Ketuhanan yang lahir sesudah disiplin ilmu lain seperti al-ma’rifah atau al-‘irfan (gnosis) dan filsafat. Barometer penilaian “paling Islam” semakin sulit ditentukan dan tidak tepat disandarkan pada golongan atau sekte tertentu karena dalam Islam, salah satu alasan menurut kajian Henderson, memang berbeda dengan tradisi Katolik Romawi, tidak memiliki lembaga yang terpusat dengan legitimasi tertinggi untuk secara otoritatif menggariskan doktrin yang benar yang kemudian diistilahkan dengan “ortodoksi”. Meskipun ortodoksi tidak memiliki padanan istilah yang pas dalam bahasa Arab, -setidaknya menurut Abdurrahman Mas’ud-, tetapi, Fauzan Saleh ketika mengulas gerakan keagamaan Islam, tidak menampik fakta bahwa intelektual Islam, khususnya para teolog, sejak masa awal Islam secara serius peduli terhadap upaya menghindarkan agama dari penyimpangan agama. Dialektika inilah yang akan segera penulis bahas dalam sub bahasan berikutnya.

ASY’ARIYAH; PELETAK DASAR MAZHAB ASWAJA
Setelah peristiwa mihnah , ideologi Mu’tazilah yang telah lama berkuasa pada masa dinasti Abbasiyah bergeser ke Asy’ariyah. Munculnya Mu’tazilah berdasarkan Analisis Harun Nasution sebagai berikut:
Nama Mu’tazilah berasal dari adanya perdebatan yang terjadi di dalam masjid Basrah antara al-Hasan al-Basri (w.110 H/728 M) dengan Wasil Ibn ‘Ata’ dan temannya Amr ibn Ubaid (w. 144 H/761 M). Pada suatu hari, datanglah seorang mahasiswa menghadap kepada al-Basri untuk menanyakan pendapatnya mengenai status orang yang berdosa besar. Dalam pandangan kaum khawarij , pelaku dosa besar adalah kafir, tetapi menurut kaum Murji’ah , dia masih mukmin. Ketika al-Basri sedang berpikir tentang hal itu, Wasil langsung berdiri dan menyatakan pendapatnya bahwa pelaku dosa besar bukan kafir dan bukan pula mukmin, tetapi berada di antara keduanya. Wasil kemudian meninggalkan halaqah al-Basri dan memisahkan diri serta mengambil tempat lain di sudut lain dalam masjid tersebut. Pada saat itulah al-Basri menyatakan “Wasil telah memisahkan diri dari kita” (I’tazala ‘anna Washil). Begitulah, Wasil dan kawan-kawannya disebut Mu’tazilah.

Selain menggunakan terminologi Mu’tazilah –lanjut Nasution-, kelompok ini juga sering menyebut diri mereka dengan ahl al-‘adl dan terkadang ahl al-‘adl wa al-tawhid. Tidak jarang juga disebut oleh musuh-musuh mereka sebagai qadariyah karena kegigihannya mempertahankan paham free will. Juga al-mu’athillah sebab enggan mengakui sifat-sifat Tuhan serta al-wa’idiyyah mengacu pada keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak akan lupa menimpakan siksa-Nya kepada mereka yang melanggar perintah-Nya.

Sedangkan kelompok Asy’ariyah diprakarsai oleh Abul al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari keturunan dari Abu Musa al-Asy’ari, salah seorang tokoh sentral dalam sengketa antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah.
Ahmad Hanafi dalam “Teologi Islam (Ilmu Kalam)”nya mendeskripsikan bahwa al-Asy’ari lahir tahun 260H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M di Basra. Dari kecil sampai usia 40 tahun al-Asy’ari akrab dengan Mu’tazilah di bawah bimbingan gurunya al-Jubba’i.

Konon, -sebagaimana catatan dalam http://id.wikipedia.org/ ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya selama 15 hari, kemudian pergi ke Masjid Basrah. Di depan banyak orang, mula-mula ia menyatakan bahwa Quran adalah makhluk; Allah SWT tidak dapat dilihat mata kepala; perbuatan buruk adalah manusia sendiri yang memperbuatnya. Pendapat ini tidak lain hasil dari doktrin Mu’tazilah. Kemudian ia mengatakan: “saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat tersebut; saya harus menolak paham-paham orang Muktazilah dan menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahannya”.

Pada era awal, tidak mudah bagi Asy’ariyah -sebutan untuk pengikut al-Asy’ari- untuk menyebarkan paham ajarannya agar diterima secara luas sebagai madzhab ortodoks. Sikap Asy’ariyah dalam menggunakan logika spekulatif, seolah mengingkari bunyi teks yang harus diterima apa adanya, dipandang oleh ulama konservatif saat itu, mirip dengan argumentasi yang dipraktekkan kaum Mu’tazilah. Terlalu mengakomodasi pendapat Empat Imam Madzhab -padahal dalam satu golongan biasanya hanya memprioritaskan salah satu dari pemikiran para ahli hukum Islam- dan tidak ditegaskannya doktrin imamah atau kepemimpinan umat, apakah condong kepada Kaum Sunni, Syi’ah, atau Khawarij semakin menambah ketidakjelasan posisi Asy’ariyah. Tetapi, setelah pandangan-pandangan teologisnya mengenai wujud Tuhan, dan sifat-sifat-Nya, kenabian, penolakan terhadap orang musyrik, orang kafir, dan ahli kitab, serta keberanian mencerca paham yang berseberangan dengan Ahli Hadis seperti kaum Jahmiyah , Mu’tazilah, dan Qadariyah , membuat Kaum Sunni bersimpati dan menggolongkan Asy’ariyah sebagai bagian dari Ahl al-Sunnah.

PMII=NU=ASWAJA?
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dikenal mempunyai kader-kader berlatar belakang kehidupan teologis sangat kuat. Selain berakar dari alumnus pesantren , kader PMII juga dibekali dengan materi-materi doktrinasi sebagai landasan berpikir dan berpijak sesuai nilai-nilai kemahasiswaan, keislaman, dan keindonesiaan. Salah satu materi wajib yang harus dikonsumsi ialah aswaja (ahlusunnah wal jamaah), yang biasanya dipahami sebagai manhaj al fikr (metode berpikir). Aswaja sebagai manhaj al fikr menjadi alternatif wacana di kalangan kader PMII sebagai reaksi terhadap pemaknaan aswaja mayoritas warga nahdliyyin yang menganggap aswaja sebagai madzhab.

Dari awal, Penulis sengaja tidak “terjebak” dan larut terlalu jauh memanggungkan aswaja sebagai manhaj al-fikr perspektif prinsip ajaran-ajarannya seperti tawassut (moderat), ta’adul (keadilan), tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleransi), dan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kebaikan sekaligus mencegah kemaksiatan). Lebih daripada sekedar alasan keterbatasan waktu, ruang, maupun referensi, namun juga sikap “baik sangka” yang sudah terlanjur melekat dalam benak Penulis, bahwa diskurus aswaja perspektif prinsip ajaran sudah habis terlahap kader-kader PMII pasca Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) sampai fase sebelum pendidikan formal berikutnya;Pelatihan Kader Dasar (PKD).
Kampanye aswaja sebagai metode berpikir dipelopori oleh KH. Said Agil Siradj yang diamini oleh kalangan intelektual muda NU, tak terkecuali kader PMII. Abdul Karim, setelah mengutip pendapat Badrun, mencirikan aswaja sebagai manhaj al-fikr dalam lima hal pokok. Pertama, Selalu mengupayakan untuk interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqih untuk mencari konteksnya yang baru. Kedua, makna bermadzhab diubah dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauli) menjadi bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji). Ketiga, melakukan verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu’). Keempat, fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif. Dan kelima, melakukan pemahaman metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah-masalah sosial dan budaya. Dalam hal ini, Badrun terkesan memberikan porsi yang lebih besar dalam memaknai aswaja sebagai manhaj al-fikr di bidang fikih sekaligus sedikit mengesampingkan bidang teologi dan tasawuf.

Aswaja dalam wacana Indonesia berarti “para pengikut Nabi dan konsensus ulama”. Aswaja juga diidentikkan dengan Kaum Sunni, yaitu mereka yang senantiasa tegak di atas Islam berdasarkan Al Qur’an dan hadits yang shahih dengan pemahaman para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi’ah.

Ketika identitas aswaja melekat pada Kaum Sunni, Ibn Taimiyah tidak sependapat, karena menurutnya, sudah dikenal sejak sebelum munculnya empat mazhab fikih, jauh sebelum masa al-Asy’ari. Istilah ini ditujukan kepada sekelompok golongan yang ingin mendapatkan rujukan langsung dari teks al-Qur’an dan sunah dalam soal-soal agama. Jika tidak terjawab, mereka akan tinggal diam, sebab mereka tidak ingin melanggar batasan-batasan yang telah ditentukan oleh kedua sumber doktrin tersebut. Mereka kemudian disebut sebagai Ahli Hadis yaitu sahabat Nabi dan para pengikutnya (tabi’in). Juga dinamakan salaf (para pendahulu), antitesa dari Ahli Rakyu (pendukung pemikiran rasional-spekulatif) dengan analogi (qiyas) sebagai sandaran hukumnya .

Aswaja juga sering disematkan pada golongan yang “paling selamat” dari jilatan api neraka berdasarkan salah satu hadis yang diriwayatkan Imam Tirmizi dari empat jalur sanad; Abu Hurairah, Sa’ad, ‘Abdullah ibn ‘Amr dan ‘Auf ibn Malik. Sedangkan Abu Dawud meriwayatkan hadis ini dari jalur sanad Abi Hurairah.
Bunyi hadis tersebut:
Umat Yahudi terpecah 71 atau 72 golongan dan Umat Nasrani terpecah sejumlah itu. Umatku (akan) terpecah 73 golongan. Semua masuk neraka kecuali satu golongan. Sahabat bertanya, “Siapakah golongan itu, ya Rasul?”. Rasul menjawab, “yang mengikuti aku dan para sahabatku” .

Jawaban Nabi tentang golongan yang “paling selamat” sebenarnya tidak secara jelas menggunakan istilah ahlusunnah wal jamaah, melainkan “ma ana ‘alaihi wa ashabihi, yang mengikuti aku dan para sahabatku”.
Klaim Aswaja bagi kaum Sunni tidak lepas dari penelitian Al-Baghdadi (w. 1037) dalam al-Farq bayn al-Firaq yang mencoba menentukan 73 golongan yang dimaksud oleh Nabi dalam sabdanya. Awalnya, Al-Baghdadi hanya menemukan 100 golongan dan setelah melakukan kategorisasi ulang, ia melengkapi penemuannya tepat disesuaikan dengan hadis Nabi, 73 golongan. Sebagai penganut paham ortodoks, tanpa ragu ia berani mengungkapkan bahwa golongan tersebut ialah Sunni. Penggolongan ini –yang oleh Fauzan Saleh disebut sebagai- kategorisasi dari sistem keagamaan yang dipaksakan.
Akhir al kalam, meskipun tidak sedikit –individu, kelompok, ormas keagamaan- yang berkeyakinan dan memproklamirkan diri, bahkan mengajak kelompok lain untuk ikut dalam golongannya karena merasa paling ortodoks, tetap saja tidak ada yang berhak memonopoli golongan yang dianggap “paling selamat” di mata Tuhan. Mencari kebenaran Tuhan bagi manusia tidak harus –jika tabu untuk mengatakan tidak boleh- mengeluarkan manusia dari hakikat kemanusiaannya. Penerjemahan terhadap teks keagamaan sah untuk dikompromikan dengan batas pengetahuan agar tidak ada celah -“bagi mereka yang senang berlindung di balik kalam Tuhan”- untuk menggadaikan dengan ambisi murahan yang sebenarnya jauh dari kehendak-Nya.

Wallahu a’lamu bi al shawab
“Tangan Terkepal dan Maju ke Muka”

CATATAN AKHIR
Disampaikan dalam Pelatihan Kader Dasar (PKD) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat RA. Kartini Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Nahdlatul Ulama (STIENU) Jepara pada Ahad, 17 Pebruari 2013 di Gedung Majlis Wakil Cabang (MWC) NU Kembang Jepara Jawa

Penulis adalah Pendidik Swasta di SMP Islam Terpadu Kholiliyah Wedelan Bangsri Jepara yang kebetulan pernah didaulat menjadi Ketua PMII Komisariat Ratu Kalinyamat Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara periode 2008-2009; Departemen Kaderisasi Pengurus Cabang (PC) PMII Jepara (2010-2011); dan Ketua I Bidang Internal (Kaderisasi) PC PMII Jepara (2011-2012).

Ziauddin Sardar, Kembali ke Masa Depan;Syariat sebagai Metodologi Pemecahan Masalah, (Jakarta: Serambi, 2005), Cet. 1, hlm. 69.

M. Su’ud dan Syukron Affani, Islam dan Transformasi Budaya;Mewujudkan Perubahan Menuju Masyarakat Progresif, (Yogjakarta: Logung Pustaka, 2009), Cet. 1, hlm. 25.

Meskipun ideologi bisa saja mati karena ditinggalkan oleh pengikutnya, sebagaimana diungkap Sarbini dalam Islam di Tepian Revolusi, tetapi sampai kapan pun, ideologi akan terus menopang keyakinan manusia sepanjang daya tampung akal sebagai penerima pengetahuan tidak terganggu fungsinya. Ideologi mulai populer setelah Filsuf Perancis Destutt de Tracy mengenalkan istilah ini pada tahun 1796 yang kemudian dipakai oleh Napoleon. Ideos berarti “gagasan” dan logos dimaknai “ilmu”. Bisa disimpulkan ideologi adalah ilmu tentang gagasan. Sarbini mengingatkan bahwa ideologi bukan sekedar gagasan, melainkan gagasan yang diikuti dan dianut sekelompok besar manusia untuk merealisasikan gagasan tersebut. Ilustrasi mudahnya, -kali ini Sarbini meminjam paparan Dawam Raharjo- meskipun gagasan seseorang, betapapun ilmiah, rasional, dan luhurnya, belum bisa disebut ideologi, apabila belum dianut oleh banyak orang dan diperjuangkan serta diwujudkan, dengan aksi-aksi yang berkesinambungan. Lebih lanjut, lihat Sarbini, Islam di Tepian Revolusi;Ideologi Pemikiran dan Gerakan, (Yogjakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 1-2.

Ibid, 9-10.

Menurut A. Hanafi dalam Theology Islam, teologi diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang fakta-fakta dan gejala-gejala agama dan hubungan-hubungan antara Tuhan dan manusia. Teologi disebut juga Ilmu Kalam atau Ilmu Tauhid karena masalah perselisihan yang paling sering diperdebatkan di antara berbagai golongan masyarakat Islam yaitu masalah kalam Tuhan (Abdul Karim Syahristani, hlm. 42). Ibn Khuldun dalam Mukaddimah terkenalnya mendefinisikan Ilmu Kalam sebagai ilmu yang mengandung argumen-argumen rasional untuk membela akidah-akidah imaniah dan mengandung penolakan terhadap golongan-golongan bid’ah yang dalam bidang akidah menyimpang dari madzhab salaf dan madzhab sunnah. Lih. Imam Chanafie Al-Jauhari, Hermeneutika Islam:Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global, (Yogjakarta: Ittaqa Press, 1999), Cet. 1, hlm.87-88.

Seyyed Hossein Nasr dan William C. Chittick, Islam Intelektual;Teologi, Filsafat, dan Ma’rifat, (Depok: Perenial Press, 1991), Cet. 3, hlm. 16.

Henderson menambahkan pendapat dari Alexander Knysh bahwa [dalam Islam] tidak adanya lembaga kependetaan atau kewenangan gereja yang terpusat yang bisa memberikan ketegasan seperti apa doktrin ortodoks itu seharusnya, [dapat diartikan sebagai] tidak ada ajaran agama yang dapat dinyatakan secara resmi sebagai doktrin yang “ortodoks”. Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan;Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, (Jakarta: Serambi, 2004), Cet. 1, hlm. 80-81.

Ortodoksi ialah terminologi gereja Katolik untuk membedakan antara keyakinan yang benar dan yang salah. Ibid, 78.
Ibid.

Mihnah adalah suatu kebijaksanaan yang dilakukan oleh khalifah al Makmun pada masa Dinasti Abbasiyah tentang diberlakukannya pemeriksaan atau lebih tepatnya dikatakan pemaksaan kepada rakyatnya terhadap penerimaan doktrin al-Qur’an itu makhluk. Peristiwa ini dilaksanakan dengan menggunakan kekuatan politik, bahkan dengan kekerasan. Sebagaimana penjelasan H.M. Joesoef Sou’yb yang dikutip Rohmat, “Sunni Pasca Tragedi Mihnah (Telaah Historis atas Hegemoni Kekuasaan Bani Abbas)”, Ibda`. Jan-Jun 2005, 3, hlm. 2. Ensiklopedi Islam mengartikan mihnah sebagai “ujian aqidah” terhadap pejabat dan para ulama. Ibid.

Mu’tazilah didirikan oleh Wasil Ibn ‘Ata’ (w. 131 H/748 M) yang dipandang oleh ahli-ahli Keislaman Barat periode awal sebagai pemikir bebas dan rasionalis Islam yang menekankan pada kebutuhan penalaran dan pentingnya kehendak bebas manusia. Aktivis Mu’tazilah lain yang terkenal ialah Abu’l-Hudhayl al-‘Allaf (w. 226 H/840 M), Abu Ishaq al-Nazzam (w. 231 H/845 M), ‘Amr ibn Bahr al-Jahiz (w. 255 H/869 M), semuanya dari Basra serta dari Baghdad yaitu Bisyr al Mu’tamir (w. 210 H/825 M) dan Abu ‘Ali al-Jubba’i (w. 303 H/915 M). Selengkapnya dalam Seyyed Hossein Nasr dan William C. Chittick, Op. cit., hlm. 20.

Harun Nasution menambahkan dua tokoh dari Baghdad yakni Abu Musa al-Murdar (w. 226 H/841 M), Abu al-Husain al-Khayyat (w. 300 H/912 M). Harun Nasution dalam Fauzan Saleh, Op. cit., hlm. 282.

Khawarij adalah bentuk jamak dari kharij. Kata ini berarti orang yang menyempal dari kepatuhannya kepada pemimpin atau imam yang sah. Seorang Khawarij mendemonstrasikan ketidakpatuhannya, dan membentuk wilayah tersendiri yang eksklusif. Ulama fiqih menyebut kaum Khawarij dengan istilah al-baghy atau pemberontak. Kaum Khawarij adalah sekelompok kaum Syi’ah yang menyempal dari kepemimpinan ‘Ali ibn Abi Thalib. Mereka tidak menyetujui tahkim (arbitrase) untuk perdamaian dalam perang Siffin, sebagaimana masyhur dalam sejarah. Mahmud az-Za’by, “Sunni yang Sunni
Tinjauan Dialog Sunnah-Syi’ah-nya al-Musawi”, http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/.

Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang berarti penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu arja’a berarti pula meletakkan dibelakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak. Untuk mengetahui doktrin dan ajaran murji’ah, tidak ada salahnya berkunjung ke http://ajiraksa.blogspot.com/2011/08/murjiah-asal-usul-kemunculan-dan.html.

Harun Nasution dalam Fauzan Saleh, Op. cit., hlm. 276.

http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_al-Hasan_al-Asy%27ari. Agak sedikit berbeda dengan ulasan M. Abdul Hye yang dikutip Seyyed Hossein Nasr dan William C. Chittick ketika menceritakan proses al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah. Setelah diduga mimpi bertemu Rasulullah SAW –ungkap M. Abdul Hye-, al-Asy’ari pergi ke masjid Basra dan menyatakan, “Siapa yang mengetahui saya, dan siapa yang tidak mengetahui saya, kemudian mengetahui bahwa saya adalah Abu’l-Hasan ‘Ali al-‘Asy’ari, yang dahulu mempertahankan bahwa Al-Qur’an diciptakan, mata manusia tidak akan dapat melihat Tuhan, dan menyatakan bahwa makhluk menciptakan aktivitas gerak mereka sendiri. Oh! Saya menyesal bahwa saya telah menjadi seorang Mu’tazili. Saya meninggalkan aliran ini dan mengekspose pertumbuhan dan kejahatan mereka”. M. Abdul Hye dalam Hossein Nasr dan William C. Chittick, Op. cit. hlm. 26.

Jahmiyah ialah golongan yang menuduh kalangan Ahl al-Sunnah telah menyerupakan Allah dengan makhluk atau musyabbihah. Perbedaan interpretasi terhadap sifat-sifat Tuhan yang tertuang dalam teks al-Qur’an dan al-Hadis seperti pendengaran Tuhan (al-sam’a), penglihatan Tuhan (al-bashr), pembicaraan Tuhan (al-kalam), Tangan Tuhan (yad allah) menjadi pemicu polemik dan menimbulkan perbedaan sikap dan pandangan di internal umat Islam. Seluruh Ahl al-Sunnah telah bersepakat untuk menetapkan sifat-sifat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengartikan secara zhahirnya. Tetapi mereka tidak menggambarkan bagaimananya sifat-sifat tersebut. Adapun Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Khawarij mereka mengingkari sifat-sifat Allah dan tidak mengartikannya secara lahiriah. Lih. http://manhaj-ahlussunnah.blogspot.com/2013/01/jahmiyah-dan-asyariyah-menuduh-ahlus.html.

Paham yang –versi Harun Nasution- tidak mau tunduk pada qadar Tuhan karena menganggap bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendak-Nya. Harun Nasution dalam Gusri Wandi, “Aliran dalam Ilmu Kalam (Qadariyah dan Jabariyah)”, http://gusriwandi.blogspot.com/2012/03/aliran-dalam-ilmu-kalam-qadariyah-dan.html

M. Dwi Satya Afriza, Gerakan Sosial Baru PMII dan Transformasi Nilai-Nilai Pergerakan di Ranah Akar Rumput, (t.p: Malta Printindo, 2008), Cet. 1, hlm. 91.

Greg Fealy, Peneliti Politik dan Sejarah Islam di Indonesia, dengan fokus Nahdlatul Ulama (NU) mengartikan “pesantren” secara harfiah sebagai “tempat para santri” yang lebih umum digunakan untuk menyebut sekolah Islam Tradisional. Nama sejenis yang dikenal di Jawa dan Madura ialah pondok sebagaimana meunasah di Aceh dan surau di Sumatera Barat. Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama;Sejarah NU 1952-1967, (Yogjakarta: Lkis, 2003), Cet. 1, hlm. 22-23.

Nahdliyyin adalah sebutan bagi penganut ormas Islam NU, organisasi yang berdiri pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagi Rais Akbar. Lihat selengkapnya di situs resmi NU dalam http://www.nu.or.

Madzhab yang dimaksud dalam tulisan ini merujuk pada konsepsi KH. Hasyim Asy’ari tentang qanun asasi (Undang Undang Dasar) NU yang secara eksplisit menganut paham Ahlussunah Wal Jama’ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Secara sederhana mengacu pada pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi, mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali dalam bidang fikih atau hukum Islam dan mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. Ibid.
Setelah mengalami beberapa kali perubahan Anggaran Dasar, dimulai tahun 1961 yang tidak menyebutkan secara eksplisit term “ahlusunnah waljamaah” sebagai dasar ideologinya, melainkan dengan kalimat lain yang berbunyi, “menegakkan syariat Islam dengan haluan salah satu dari Empat Mazhab”, kemudian direvisi pada Muktamar NU XXVI di Semarang tahun 1979 dengan mengganti tujuan organisasi, “menegakkan syariat Islam menurut haluan Ahlusunnah waljamaah ialah Ahlil-Mazahibil-Arbaah”, dan mengalami perubahan lagi pada Muktamar NU XXVII di Situbondo yang menetapkan Pancasila sebagai asas organisasi dan menambah pasal akidah, “Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah diniyyah Islamiyah beraqidah Islam menurut faham ahlusunnah wal jamaah mengikuti salah satu mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Namun, perubahan-perubahan anggaran dasar tersebut, meminjam istilah M. Ali Haidar, bukanlah soal yang penting untuk menilai ciri pokok faham keagamaan NU. Anggaran Dasar hanyalah “simbol kelamin organisasi”, lebih penting dari semua itu ialah memahami esensi substantif di balik simbol-simbol normatif. Pembahasan komprehensif bisa merujuk M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia,; Pendekatan Fikih dalam Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998), Cet. 2, hlm. 69-70.

Abdul Karim, “Reformulasi Aswaja sebagai Manhajul-fikr&Manhajul-amal”, http://aswajacenterpati.wordpress.com/

Ronald Alan Lukens-Bull, Jihad ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika, Yogyakarta: Gama Media, 2004), Cet. 1, hlm. 121.

“Sunni”, http://id.wikipedia.org/wiki/Sunni

Ibn Taimiyah dalam Fauzan Saleh, Op. cit, hlm. 98.

Kajian lebih detail tentang penilaian para muhadditsin tentang kesahihan status hadis tersebut, lih. M. Ali Haidar, Op. Cit., hlm.

Fauzan Saleh, Op. cit., hlm. 101-102.

SANTRI GALAU



Oleh: Ahmad Saefudin

Meskipun bersarung, otak tak boleh menjadi “katak dalam tempurung”
Walaupun berkerudung, pikiran harus keluar dari bingkai sekat terselubung
Biarpun berpeci, pengetahuan tak kalah dengan akademisi

Mereka bilang Ku kampungan, padahal itu wujud kesederhanaan
Mereka anggap Ku ketinggalan jaman, justeru itu arti dari prinsip ketidakterombang-ambingan
Mereka bilang apa, ku tahu itu mengapa

Ku hanyalah santri
Pengemban misi suci
Tak gentar caci maki
Tak goyah rintang benci

Kelak akan tahu
Mengapa Ku begini